Kelumpuhan tidak hanya berdampak pada kenyamanan hidup ayam, tetapi juga membawa implikasi luas terhadap aspek ekonomi dan keamanan pangan
Dalam beberapa tahun terakhir, isu kesehatan ternak unggas semakin mendapat sorotan di berbagai belahan dunia. Di balik keberhasilan industri perunggasan dalam memenuhi kebutuhan protein hewani masyarakat, tersimpan tantangan serius yang tak selalu tampak di permukaan. Salah satunya adalah kondisi broiler (ayam pedaging) yang terlihat sehat namun diam-diam mengalami gangguan pada sistem geraknya.
Fenomena ini tidak muncul begitu saja. Di balik laju pertumbuhan broiler yang begitu pesat, terselip dinamika biologis yang tak selalu mudah dikenali. Tubuh ayam yang membesar dalam waktu singkat memang menjadi keunggulan industri perunggasan modern, namun pada saat yang sama, muncul pula tantangan-tantangan tersembunyi yang berkaitan dengan struktur tubuh dan kesehatan dasar ayam itu sendiri. Salah satu kondisi yang belakangan mulai banyak diteliti adalah kelumpuhan atau lameness, sebuah gejala yang kerap hadir secara diam-diam namun menyimpan dampak signifikan, baik bagi kesejahteraan ternak maupun keberlanjutan produksi.
Kekhawatiran terhadap lameness ini mendorong sejumlah pusat penelitian dunia untuk menaruh perhatian khusus, salah satunya adalah Universitas Arkansas di Amerika Serikat (AS). Di kampus inilah, isu kelumpuhan pada broiler menjadi fokus utama dalam riset unggas yang dipimpin oleh Adnan Alrubaye, Assistant Professor di bidang poultry microbiology, Universitas Arkansas. Ia menegaskan bahwa kelumpuhan tidak hanya berdampak pada kenyamanan hidup ayam, tetapi juga membawa implikasi luas terhadap aspek ekonomi dan keamanan pangan. “Ini adalah isu nomor satu dalam kesejahteraan hewan di seluruh dunia,” ujarnya.
Arkansas, sebagai penghasil 1 miliar broiler per tahun, ia melanjutkan, memainkan peran besar dalam industri perunggasan AS. Pertumbuhan ayam yang sangat cepat menjadi keunggulan industri ini, namun juga membawa risiko yang tidak bisa diabaikan. Ayam-ayam tersebut tumbuh besar dalam waktu singkat, sementara ukuran kaki mereka tidak mengalami perkembangan sebanding, sehingga memicu tekanan yang berlebihan pada persendian.
“Bobot badan ayam pada 1957 silam hanya sekitar 905 gram (g) setelah 56 hari, sedangkan kini bisa mencapai 4 kilogram (kg) dalam periode yang sama. Lonjakan ini merupakan hasil dari pemuliaan genetik, peningkatan kualitas pakan, dan perbaikan sistem manajemen pemeliharaan. Namun, seiring dengan itu, kelumpuhan atau lameness menjadi kondisi yang semakin sering dijumpai, meskipun tidak selalu tampak dari luar,” sesal dia.
Ia menyebut, kondisi ini sebagai Bacterial Chondronecrosis with Osteomyelitis (BCO), yaitu infeksi bakteri yang menyerang pelat pertumbuhan tulang seperti kepala femur dan tibia. Infeksi ini menyebabkan kerusakan bertahap dan rasa sakit yang luar biasa pada ayam. “Kebanyakan ayam yang lumpuh tidak menunjukkan gejala sampai kita membedah dan melihat langsung tulangnya,” ungkapnya, menekankan bahwa banyak kasus lameness berlangsung tanpa terdeteksi secara klinis.
Deteksi Gejala Klinis
Adnan menyebut, gejala klinis lameness pada broiler dapat dikenali melalui perilaku duduk terus-menerus, bulu yang kusut, sayap terbuka, dan kaki yang menjulur. Dalam kondisi tertentu, ayam terlihat tidak mampu menopang tubuhnya sendiri. Pada tahap yang lebih parah, ayam benar-benar tidak dapat berdiri, menandakan kerusakan serius pada sistem geraknya.
Menurutnya, kasus kelumpuhan ini bisa menyerang hingga 20-25 % populasi ayam dalam kondisi ekstrem. Namun, banyak kasus yang tidak terdeteksi karena gejalanya tidak tampak secara klinis. “Salah satu bentuk kelumpuhan yang cukup umum disebut ‘kinky back’, terjadi ketika bakteri masuk melalui sistem pernapasan dan menyerang tulang belakang, terutama vertebra toraks keempat, sehingga memicu gangguan saraf dan postur tubuh,” kata dia.
Selengkapnya Baca di Majalah TROBOS Livestock edisi 310/ Juli 2025