Tangerang (TROBOSLIVESTOCK.COM). Gabungan Perusahaan Makanan Ternak (GPMT) menggelar Seminar Nasional bertajuk ‘Feed the Future: Menuju Industri Pakan Ternak yang Berkelanjutan dan Resilient’ di Garuda Main Hall, ICE BSD, pada Jumat (7/9). Acara ini menjadi bagian dari rangkaian Nusantara Livestock & Poultry Expo 2025 dan dihadiri berbagai pemangku kepentingan dari pemerintah, asosiasi, akademisi, serta pelaku industri. Melalui kegiatan bertema Preview 2025 dan Outlook 2026 ini, GPMT berupaya menghadirkan refleksi dan arah kebijakan strategis bagi industri pakan di tengah tantangan ekonomi dan dinamika global yang terus bergerak cepat.
Seminar tersebut menjadi momentum penting untuk memperkuat kolaborasi lintas sektor dalam membangun fondasi industri pakan yang tangguh, efisien, dan berdaya saing tinggi. Tahun 2025 disebut sebagai periode penuh tantangan bagi sektor ini, namun sekaligus membawa peluang besar bagi transformasi menuju industri pakan yang berkelanjutan. Para peserta sepakat bahwa ketahanan pakan merupakan bagian tak terpisahkan dari ketahanan pangan nasional, dan inovasi menjadi kunci dalam menjaga daya saing Indonesia di tingkat global.
Ketua Umum GPMT, Desianto Budi Utomo, dalam sambutannya menegaskan pentingnya kebersamaan seluruh pemangku kepentingan untuk menatap masa depan dengan optimisme. Ia mengatakan, pertemuan ini bukan sekadar membahas angka dan data industri, melainkan meneguhkan komitmen bersama untuk membangun masa depan yang ingin “diberi makan dan dijaga bersama”.
Menurutnya, di tengah gejolak harga bahan baku, industri pakan Indonesia terbukti tetap bertahan bahkan terus tumbuh. “Kita bekerja keras, berproduksi, dan berkontribusi. Pakan bukan sekadar komoditas, tetapi fondasi kehidupan, karena dari pakan lahir sumber gizi bangsa,” ujarnya.
Sementara itu, Direktur Pakan Direktorat Jenderal Peternakan dan Kesehatan Hewan (Ditjen PKH), Tri Melasari, menyampaikan bahwa sektor perunggasan memegang peran strategis dalam mendukung ketahanan pangan nasional. Sekitar dua pertiga kebutuhan protein hewani masyarakat Indonesia, katanya, dipenuhi dari produk unggas seperti daging ayam dan telur. Berdasarkan proyeksi, kebutuhan pakan nasional pada 2026 mencapai 39 juta ton per tahun, sejalan dengan peningkatan populasi unggas yang mencapai hampir lima miliar ekor.
Ia menekankan pentingnya diversifikasi bahan baku lokal, pengembangan teknologi formulasi pakan, serta efisiensi rantai pasok melalui sistem digital. “Feed the Future adalah semangat untuk menyiapkan industri yang bukan hanya kuat hari ini, tetapi juga tahan terhadap perubahan iklim dan dinamika pasar global,” ungkapnya.
Diskusi dalam seminar ini dipandu oleh Azrul Arifin, Bendahara GPMT, yang menghadirkan narasumber dari berbagai latar belakang. Jalannya diskusi berlangsung interaktif, membahas tren produksi, kebijakan bahan baku, arah impor, serta langkah-langkah pemerintah dan industri dalam mendorong efisiensi serta kemandirian pakan nasional.
Dalam paparannya, Mela juga membeberkan data terbaru mengenai tren impor bahan pakan asal tumbuhan yang meningkat 5,82 % pada 2025, dengan volume izin mencapai 5,7 juta ton. Sebagian besar bahan baku tersebut masih berasal dari Amerika Serikat dan Brasil. Namun pemerintah, katanya, telah menyiapkan langkah penguatan bahan pakan lokal seperti bungkil inti sawit dan jagung melalui skema domestic market obligation (DMO). Ia juga mencatat bahwa produksi pakan nasional tumbuh 9,22 % dibanding tahun sebelumnya, dan proyeksi 2026 menunjukkan potensi produksi mencapai 35-40 juta ton. “Pertumbuhan ini harus diimbangi dengan regulasi yang efisien, termasuk revisi aturan bahan pakan bebas PPN dan penerapan standar mutu wajib,” ucapnya.
Pada kesempatan berikutnya, Devied Apriyanto Sofyan, Pengendali Mutu Hasil Pertanian (PMHP) Ahli Madya sekaligus Ketua Kelompok Kerja (Kapoksi) Jagung dan Aneka Serelia, menjelaskan bahwa produksi jagung nasional pada 2025 mencapai 16,55 juta ton, tertinggi dalam lima tahun terakhir. Lebih dari separuh produksi tersebut berasal dari Pulau Jawa. Untuk 2026, pemerintah menargetkan produksi jagung sebesar 16,77 juta ton dengan dukungan luas panen 2,81 juta hektare. Ia menyebut pemerintah juga menyiapkan insentif berupa bantuan benih dan pupuk bersubsidi untuk meningkatkan produktivitas. “Kami ingin menjaga pasokan jagung bagi industri pakan tetap stabil sekaligus mengurangi ketergantungan impor,” jelasnya.
Pebi Purwo Suseno, Ketua Kelompok Perlindungan Hewan, Direktorat Kesehatan Hewan, Ditjen Peternakan dan Kesehatan Hewan (PKH), Kementerian Pertanian, menyoroti meningkatnya impor bahan pakan asal hewan yang kini didominasi oleh pasokan dari Amerika Serikat, Selandia Baru, dan Kanada. Pemerintah, ujarnya, sangat berhati-hati dalam membuka akses impor untuk menjamin keamanan dan kesehatan hewan nasional. “Kami ingin memastikan setiap bahan baku yang masuk berasal dari negara dan unit usaha yang memenuhi standar keamanan. Ini penting agar tidak mengganggu status kesehatan hewan di Indonesia,” tuturnya.
Abdul Fatah, Ketua Tim Kerja (Katimker) Produksi Unggas, menegaskan bahwa industri perunggasan menjadi salah satu penggerak utama ekonomi peternakan nasional dengan nilai mencapai Rp 700 triliun per tahun. Ia mengungkapkan, rantai pasok yang panjang dan fluktuasi harga input seperti DOC dan pakan masih menjadi tantangan besar bagi peternak. Pemerintah, katanya, akan menempuh langkah penyesuaian alokasi GPS, memperkuat kemitraan, dan menugaskan BUMN pangan untuk menjaga stabilitas harga serta pemerataan distribusi. Upaya ini diharapkan mampu mendukung keberlanjutan program makan bergizi bagi masyarakat.
Dari kalangan industri benih, Imam Sujono, Head Marketing Seed PT Syngenta Indonesia, menilai penurunan luas tanam jagung terjadi karena cuaca ekstrem dan harga padi yang lebih menguntungkan bagi petani. Ia mengungkapkan, sekitar 80 % lahan jagung berada di wilayah tegalan yang sangat bergantung pada kondisi iklim. Ia memperkirakan harga jagung akan meningkat pada akhir 2025 hingga awal 2026 seiring menurunnya stok di pasaran. “Kalau harga jagung kembali di atas Rp5.500 per kilogram, petani akan mulai menanam lebih banyak. Tapi selama padi lebih menguntungkan, mereka cenderung beralih,” katanya.
Sementara itu, pandangan dari sektor perdagangan internasional disampaikan oleh Ibnu Edy Wiyono, Country Director Indonesia dari U.S. Soybean Export Council (USSEC). Ia menjelaskan bahwa Amerika Serikat masih menjadi pemasok utama bungkil kedelai bagi industri pakan Indonesia, dengan volume impor stabil di kisaran 5,3 juta ton per tahun sejak 2021. Menurutnya, fluktuasi harga global justru memberi peluang efisiensi bagi pelaku industri dalam menjaga biaya produksi. “Industri pakan Indonesia menunjukkan kemampuan adaptasi yang luar biasa di tengah perubahan pasar dunia,” lanjutnya.
Achmad Dawami, Ketua Umum Gabungan Perusahaan Pembibitan Unggas (GPPU), menilai keberlanjutan industri perunggasan sangat bergantung pada stabilitas pasokan dan kualitas pakan. Ia menekankan pentingnya kolaborasi erat antara pelaku pembibitan, produsen pakan, dan pemerintah dalam menjaga keseimbangan rantai pasok unggas nasional. Baginya, efisiensi di setiap mata rantai akan menentukan daya saing industri unggas Indonesia di tingkat global.

Ia menambahkan bahwa peningkatan efisiensi harus berjalan beriringan dengan inovasi genetik dan perbaikan formulasi pakan yang disesuaikan dengan kebutuhan ternak modern. “Kalau seluruh pelaku industri bergerak dalam arah yang sama, Indonesia bukan hanya mampu memenuhi kebutuhan dalam negeri, tapi juga berpotensi menjadi kekuatan baru di pasar unggas regional,” tandasnya.
Desianto kemudian menegaskan bahwa industri pakan memiliki peran vital dalam menjaga ketahanan pangan nasional. Ia menyebut setiap kebijakan dan inovasi di sektor ini merupakan investasi bagi masa depan bangsa. “Pakan bukan hanya produk industri, tetapi fondasi sistem pangan nasional. Dari pakan lahirlah sumber protein yang memberi kekuatan bagi generasi mendatang,” katanya.
Ia mengajak seluruh pelaku usaha dan pemangku kepentingan untuk menjadikan kolaborasi sebagai semangat utama menghadapi tantangan global. Dengan inovasi berkelanjutan, Desianto optimistis industri pakan Indonesia akan semakin tangguh dan berdaya saing. “Saat kita memperkuat industri pakan, sesungguhnya kita sedang memperkuat masa depan Indonesia itu sendiri,” pungkasnya.shara





