Yogyakarta (TROBOSLIVESTOCK.COM). Setelah sukses menggelar pelatihan perdana pada April 2025 yang mendapat sambutan antusias, Indonesian Cage-Free Association (ICFA) kembali menyelenggarakan Training Beternak Bebas Sangkar Batch #2 yang diselenggarakan di Yogyakarta pada Selasa-Rabu (29–30/7). Pelatihan gelombang kedua ini menjadi bagian dari komitmen berkelanjutan ICFA untuk memperluas kapasitas dan jaringan peternak ayam petelur menuju sistem bebas sangkar yang lebih berkelanjutan dan berwawasan kesejahteraan hewan.
Peserta pelatihan berasal dari berbagai provinsi di Indonesia, antara lain Jawa Barat, Jawa Tengah, Jawa Timur, Daerah Istimewa Yogyakarta, Sumatera Utara, Sulawesi Tengah, Kalimantan Timur, Bali, dan Nusa Tenggara Timur. Mereka memiliki latar belakang yang beragam, mulai dari peternak yang telah menerapkan sistem cage-free atau free-range, peternak yang masih menggunakan sistem konvensional, hingga mereka yang sedang dalam tahap perencanaan atau pembangunan kandang bebas sangkar.
Selama dua hari pelaksanaan, para peserta mengikuti rangkaian pelatihan intensif yang dirancang untuk memperkuat pemahaman teknis dan strategis dalam menerapkan sistem beternak ayam petelur bebas sangkar. Pelatihan ini menggabungkan pendekatan teori, praktik langsung, serta sesi berbagi pengalaman dari lapangan.
Hari pertama pelatihan dimulai dengan pengenalan mendalam mengenai sistem cage-free yang disampaikan oleh Global Food Partners, Anom Yusuf T.B.S. Dalam sesi ini, peserta mempelajari prinsip dasar sistem peternakan bebas sangkar, termasuk perilaku alami dan abnormal ayam, pentingnya enrichment, serta manajemen kandang yang mencakup pemberian pakan dan air minum, penggunaan nest box, pengelolaan litter, dan pencahayaan. “Selain itu, dibahas pula teknik penanganan ayam, strategi melatih ayam agar bertelur di sarang, serta manajemen telur dan litter yang baik,” imbuh Anom.
Sesi kedua diisi oleh PT Widodo Makmur Unggas, Arif Afiata R yang membahas strategi pemeliharaan ayam untuk mencapai performa produksi optimal. “Materi mencakup berbagai faktor yang memengaruhi produktivitas, seperti kondisi lingkungan kandang, kualitas dan manajemen pakan, pencahayaan, identifikasi ayam tidak produktif, teknik grading, serta pengambilan keputusan berbasis data,” jabar Arif.
Sesi ketiga, Indonesian Livestock Practitioner Association (ILSPA), Sesotya Raka Pambuka dan Henri E. Prasetyo menyampaikan materi seputar manajemen pakan dan efisiensi nutrisi. “Kami membahas strategi sourcing bahan baku, formulasi pakan berbasis kebutuhan nutrisi ayam petelur dalam sistem cage-free, serta penggunaan premix untuk mendukung performa dan menghasilkan telur bernilai tambah, seperti kandungan omega-3 dan warna kuning telur yang lebih cerah,” papar dia.
Pada sore hari, peserta mengikuti sesi praktik lapangan di Cage-Free Layer Model Farm. Di lokasi ini, peserta melakukan observasi langsung terhadap sistem kandang bebas sangkar, mengenali perilaku ayam secara nyata, serta memahami penerapan manajemen kandang dan standar kesejahteraan hewan dalam praktik sehari-hari.
Hari kedua pelatihan difokuskan pada aspek pendukung keberlanjutan usaha peternakan cage-free. Sesi pertama dibawakan oleh Aisah Nurul Fitri yang membahas biosekuriti dan manajemen kesehatan pada sistem cage-free. “Dalam paparannya, saya menjelaskan, strategi pencegahan penyakit, program vaksinasi, serta pentingnya pemantauan performa ayam berdasarkan parameter kesehatan dan produksi,” bebernya.
Materi kemudian dilanjutkan dengan topik branding dan pemasaran telur cage-free yang disampaikan oleh Guru Besar di Bidang Pemasaran Produk Peternakan dari Fakultas Peternakan Universitas Gadjah Mada (Fapet UGM) Yogyakarta, Prof Suci Paramitasari. Ia mengajak peserta memahami cara membangun citra produk yang kuat melalui storytelling, penguatan identitas merek, desain kemasan, serta strategi komunikasi yang menonjolkan nilai etika, gizi, dan keberlanjutan sebagai keunggulan kompetitif telur cage-free.
Sesi berikutnya, salah satu Inspektur Certified Humane (HFAC) di Indonesia Prof Pudji Astuti. Ia menjabarkan, peran penting sertifikasi kesejahteraan hewan dalam meningkatkan nilai tambah produk serta membangun kepercayaan pasar, khususnya melalui skema sertifikasi HFAC. “Materi mencakup persyaratan audit, manfaat sertifikasi untuk akses pasar modern, serta studi kasus nyata yang menunjukkan bagaimana sertifikasi dapat membuka peluang bisnis baru bagi peternak,” sebut Pudji.
Pelatihan kemudian dilengkapi dengan sesi talkshow yang menghadirkan tiga produsen telur cage-free dengan pendekatan dan skala peternakan yang berbeda, guna memberikan perspektif yang beragam dan inspiratif kepada para peserta. Owner PT Inti Prima Satwa Sejahtera (IPSS) di Sukabumi, Jawa Barat, Roby Tjahya Dharma Gandawijaya, membagikan pengalamannya sebagai salah satu pionir produsen telur bebas sangkar di Indonesia. “Dengan populasi ayam mencapai 48 ribu ekor, IPSS menunjukkan bahwa sistem cage-free dapat dijalankan secara profesional dalam skala besar dengan tetap mengedepankan prinsip kesejahteraan hewan,” ungkap Roby.
Dari Bali, Andy Suryanto, turut membagikan kisah pengembangan Saudara Poultry Farm yang menerapkan sistem kombinasi antara free-range dan cage-free, masing-masing untuk 2.500 ekor dan 4.000 ekor ayam. “Pendekatannya menekankan pentingnya nilai lokalitas dan keberlanjutan, serta membangun koneksi emosional dengan konsumen melalui cerita di balik produk,” kata dia.
Sementara itu, Ketua Kelompok Ternak Tri Manunggal Bhakti di Cangkringan, Sleman, Yogyakarta, Agung Setyoleksono, memperlihatkan bahwa sistem cage-free juga dapat diterapkan secara kolektif oleh kelompok peternak skala kecil. “Dengan populasi ayam sekitar 700 ekor, kelompok ini membuktikan bahwa transisi menuju sistem bebas sangkar bisa dimulai secara bertahap dan berbasis komunitas,” tandas Agung.
Ketiga narasumber memberikan gambaran nyata mengenai dinamika di lapangan mulai dari proses awal membangun sistem, tantangan teknis dan pemasaran, hingga strategi inovatif yang mereka kembangkan. Mereka pun menyampaikan satu pesan penting bagi peternak yang ingin memulai yaitu Mulai aja dulu. Seribu ekor itu cukup. Effort-nya kurang lebih sama seperti populasi ayam 500 ekor, jalani saja dulu, nanti pasar akan mengikuti.
Terakhir, Ketua Indonesian Cage-Free Association (ICFA), Kristina Yolanda, menyampaikan pesan kepada para peternak yang ingin terjun ke industri cage-free agar senantiasa menjaga integritas dan kredibilitas sistem ini di Indonesia. Ia menekankan, pentingnya untuk tidak mengklaim telur konvensional sebagai telur cage-free, karena tindakan tersebut dapat merusak kepercayaan konsumen serta mencederai upaya para peternak lain yang telah menerapkan sistem ini secara benar.
“Dengan menjunjung tinggi kejujuran dan membangun kolaborasi antarpeternak, industri cage-free di Indonesia diharapkan dapat tumbuh secara sehat, beretika, dan berkelanjutan,” harap Kristina.
Sebagai penutup pelatihan, peserta mengikuti sesi case-based learning yang menantang mereka untuk menyusun desain kandang cage-free. Dalam sesi ini, peserta merancang rencana teknis yang mencakup kebutuhan DOC (ayam umur sehari), pakan, sistem kesehatan, fasilitas kandang, manajemen limbah dan tenaga kerja, hingga strategi penjualan. Desain kandang yang disusun didasarkan pada prinsip kesejahteraan hewan sebagai langkah awal menuju implementasi nyata di peternakan masing-masing.roid






