Sistem cage-free bukan untuk menggantikan sistem konvensional, tetapi untuk mengintroduksi bahwa ada pemeliharaan layer dengan opsi lain, baik untuk peternak maupun konsumen
Tuntutan akan kebutuhan pangan yang aman, sehat, utuh dan halal (ASUH), kini mulai menjajaki level yang lebih tinggi. Terlebih untuk pangan hewani, kini sudah banyak masyarakat atau konsumen yang melek akan aspek kesejahteraan hewan (kesrawan) dan keberlanjutan (sustainability). Diyakini bahwa ternak yang terjaga kesrawannya saat proses budidaya, maka mereka akan menghasilkan produk yang lebih baik dan sehat.
Adapun salah satu produk dari komoditas ternak yang kini tengah diupayakan di Indonesia ialah telur bebas sangkar atau (cage-free eggs). Produk telur bebas sangkar ini dihasilkan dari budidaya layer (ayam petelur) dengan sistem kandang umbaran/bebas sangkar (cage-free). Seperti yang dijalankan oleh Peternak Layer Cage-Free di Sukabumi, Jawa Barat sekaligus Pemilik PT Inti Prima Satwa Sejahtera (IPSS), Roby Gandawijaya.
Roby mengisahkan, bahwa memulai bisnis layer cage-free sejak 2002 silam, di mana belum ada satu pun peternak ayam petelur (layer) modern yang membudidayakannya dengan sistem cage-free. “Dulu populasinya masih 20.000 ekor, sekarang bertambah menjadi 60.000 ekor. Di masing-masing kandang populasinya sebanyak 10.000 ekor,” sebutnya kepada TROBOS Livestock.
Ia mengaku, awal mula beternak layer cage-free sederhana saja. Sebelum memulai bisnis ini, Roby rmemulai riset ke beberapa peternakan layer dengan sistem perkandangan baterai yang ada di Cianjur, Sukabumi, Cicurug, Jawa Barat sampai ke Jawa Timur. Dari situ, Roby merasa ada yang kurang tepat, di mana menemukan pemeliharaan layer dengan kandang baterai yang kurang higienis mulai dari banyak lalat, hingga bau yang menyengat karena limbahnya.
Kala itu, Roby belum mengenal yang namanya sistem cage-free. Ia hanya berpikir, karena memang dulu juga sempat beternak ayam pedaging (broiler), sehingga mengetahui bahwa memelihara layer dengan tipe diumbar pun bisa. Dari situ, Roby bertekad untuk memelihara ayam petelur dengan cara diumbar dan dulu namanya peternakan ayam petelur umbaran.

Karena pada saat itu, peternakan dengan sistem cage-free ini tidak popular sehingga setiap kali Roby datang ke seminar maupun pameran peternakan tidak ada orang yang bisa memberinya pedoman tentang memelihara ayam dengan manajemen seperti itu. Akhirnya sejak 2000 lalu, Roby learning by doing, melihat betul-betul di kandang itu seperti apa. “Barulah 10 tahun yang lalu, datang GFP (Global Food Partners) yang menerangkan bahwa ada peternakan tipe baru yang namanya cage-free di Surabaya, Jawa Timur. Ketika melihat ke sana, dan ternyata itu seperti kandang saya,” terangnya sambal tertawa kecil.
Mengapa Cage-Free?
Guna mendorong implementasi manajemen peternakan ayam petelur yang lebih etis dan berkelanjutan, serta meningkatkan kesadaran masyarakat akan vitalnya kesrawan, terbentuklah organisasi ICFA (Indonesian Cage-Free Association). Asosiasi yang dipimpin oleh Kristina Yolanda (Ketua Umum) yang berdiri pada Mei 2024 lalu. Berkesempatan untuk mewawancarainya, Yolanda menyatakan bahwa ICFA ingin menyebarkan cage-free untuk menyediakan opsi telur yang berasal dari farm yang lebih sustainable dan lebih memperhatikan aspek animal welfare-nya.
“Generasi muda zaman sekarang sebagai konsumen, lebih aware (sadar) dengan informasi yang lebih mudah didapat. Mereka juga lebih aware terhadap hal-hal yang berkaitan dengan sustainability dan responsible source. Dan telur cage-free ini sebagai salah satu jawabannya. Apalagi kalau di industri perhotelan itu juga banyak hotel-hotel multinasional yang mereka sudah memiliki komitmen cage-free, sehingga secara global mereka diharuskan untuk menggunakan telur cage-free dengan batas waktu tertentu,” jelas wanita yang akrab dipanggil Yolanda ini.
Permasalahannya di Indonesia, ia melanjutkan, suplainya masih sangat terbatas. Di industri layer nasional masih sangat didominasi oleh peternak yang menggunakan kandang konvensional. Sementara ICFA memperkenalkan sistem cage-free bukan untuk menggantikan sistem konvensional, tetapi untuk mengintroduksi bahwa ada pemeliharaan layer dengan opsi lain, baik untuk peternak maupun konsumen. Ia memahami kondisi di Indonesia, di mana secara ekonomi saat ini sedang banyak yang sulit. Sehingga kalau terlalu ambisius untuk semua peternak ayam petelur di tanah air harus cage-free jelas sangat tidak realistis. Maka itu, jika ada segmentasi pasar yang mencari telur cage-free, itulah yang ICFA tuju.
Senada dengan Yolanda, Roby menegaskan, bahwa dengan membuka kandang cage-free ini tujuannya untuk menjadi alternatif. Sebab beternak cage-free itu tidak mudah, di mana benar-benar membutuhkan perhatian lebih dari pemiliknya. “Ini sense of belonging-nya tinggi dan sebenarnya menjadi kekurangan sekaligus kelebihan. Kekurangannya karena kalau sense of belonging-nya tinggi, kita tidak bisa besar. Saya sendiri memiliki keterbatasan, di mana hanya bisa mengatur orang dan ayam 10.000 ekor saja. Maka, kemampuan saya hanya sebanyak itu dan tidak bisa bertambah. Tetapi kelebihannya, dengan sense of belonging yang tinggi, produksi telurnya bagus karena ayam lebih diperhatikan. Manajemen seperti itu, tidak ada di praktik buku apapun, sebab ini benar-benar gut feeling-nya jalan,” Roby mengemukakan.
Adapun Program Director Lever Foundation, Mutzu Huang, menjelaskan bahwa peternakan layer modern telah berkembang dari peternakan bebas di pekarangan rumah menuju peternakan pra-industri, hingga peternakan intensif. “Sejak 1960, peternakan mulai menggunakan sistem kandang guna menghasilkan telur dengan tingkat mekanisasi yang tinggi. Namun, pada dekade berikutnya dengan meningkatnya industrialisasi memicu kekhawatiran dari kelompok kesrawan dan konsumen yang makin sadar akan tracebility, metode produksi kesrawan, serta kesehatan dan keamanan makanan mereka,” terang wanita yang karib disapa Mutzu ini.
Menanggapi hal tersebut, ia menambahkan, Komisi Eropa secara resmi mengumumkan penghapusan bertahap sistem kandang baterai selama 13 tahun pada 1999. Uni Eropa pun mengesahkan undang-undang (UU) yang mewajibkan semua telur di pasaram diberi label jelas dengan rincian tentang metode produksinya, sehingga konsumen dapat mengenali dan membuat pilihan yang tepat. Hingga 2022, lebih dari 50 % telur yang diproduksi di Uni Eropa berasal dari ayam cage-free.
“Dengan semakin banyaknya perusahaan yang berkomitmen untuk menggunakan telur cage-free, sistem produksi bebas sangkar skala besar dengan hasil tinggi saat ini makin umum di Asia dan negara-negara barat. Ketika produsen telur beralih dari sistem kandang ke cage-free, mereka harus memilih metode yang dapat memenuhi kebutuhan pasar terhadap telur cage-free sambil tetap mempertahankan produksi skala besar dengan harga yang terjangkau,” tuturnya.
Selengkapnya Baca di Majalah TROBOS Livestock edisi 310/ Juli 2025




