banner1 scaled

Menakar Dampak Penyakit Hewan Melalui GBADs

Oleh :drh. Harimurti Nuradji, Ph.D Kepala Pusat Riset Veteriner BRIN

 

Di Indonesia, ternak tidak hanya berperan sebagai aset ekonomi semata, melainkan juga bagian penting dari kehidupan sosial dan budaya masyarakat. Saat seekor sapi terinfeksi Penyakit Mulut dan Kuku (PMK), peternak mengalami kerugian signifikan, biaya pengobatan membengkak, bahkan ternak sering dijual murah karena panik, sehingga pendapatannya rumah tangga menurun. Kondisi serupa terjadi akibat penyakit lain seperti penyakit demam babi afrika atau African Swine Fever (ASF) pada babi, Lumpy Skin Disease (LSD) pada sapi, serta berbagai penyakit menular dan tidak menular lainnya.

Namun, dampak nyata dari penyakit-penyakit tersebut belum tercatat secara detail dalam data resmi, sehingga dalam pengambilan kebijakan belum sepenuhnya memperhitungkannya. Inilah masalah yang ingin dijawab oleh inisiatif Global Burden of Animal Diseases (GBADs) di Indonesia yang didukung oleh Badan Kesehatan Hewan Dunia (World Organization for Animal Health/ WOAH).

Kesehatan dan produktivitas ternak dipengaruhi oleh penyakit endemik dan penyakit baru yang muncul. Penyakit-penyakit ini tidak hanya menyebabkan ternak mudah sakit, namun juga pertumbuhan ternak terhambat, dan hasil produksi menurun. Akibatnya, peternak membutuhkan lebih banyak pakan, obat-obatan, tenaga kerja, dan perawatan agar ternak tetap bertahan dan produktif.

Ketiadaan data yang memadai membuat pengambil kebijakan di tingkat pusat dan daerah sering menghadapi ketidakpastian dalam mengambil keputusan. Diperlukan informasi untuk menilai apakah investasi yang dilakukan sudah tepat sasaran dan memberikan dampak terbesar. Tanpa data berbasis bukti, risiko alokasi anggaran yang tidak efisien dan kebijakan yang kurang efektif menjadi tinggi.

Sistem produksi ternak di Indonesia sangat beragam, mulai dari peternakan skala rumah tangga hingga skala komersial intensif. Produk utama seperti daging, susu dan telur sangat penting dalam konsumsi masyarakat, dengan pusat produksi utama di Pulau Jawa. Produksi daging sapi masih sangat bergantung pada peternakan rakyat, sehingga saat ini Indonesia masih mengimpor sapi hidup dan daging beku untuk memenuhi kebutuhan nasional. Keberlangsungan usaha ternak kambing dan domba penting bagi peternak kecil namun belum dilaksanakan secara optimal.

Sementara itu, produksi susu segar dalam negeri yang hanya berkontribusi 27% untuk memenuhi kebutuhan dalam negeri diharapkan mampu terus bertumbuh, dengan berbagai kendala yang dihadapi. Ternak babi memiliki nilai regional penting, terutama di Nusa Tenggara Timur, di mana banyak rumah tangga memelihara babi. Sistem produksi unggas, khususnya ayam ras petelur dan broiler sangat berkembang dan modern. Produksi ayam ras di Indonesia sudah dilakukan secara intensif dan terintegrasi. Namun demikian, usaha ayam kampung dan ayam buras tetap memiliki nilai ekonomi dan sosial bagi peternak. Sistem ini menyumbang signifikan terhadap ketahanan pangan nasional, namun juga menghadapi tantangan seperti penyakit unggas, fluktuasi harga pakan, dan keseimbangan antara produksi skala kecil dan industri besar.

Ternak juga memiliki nilai sosial dan budaya yang kuat. Di Madura, karapan sapi adalah tradisi yang penting dalam perayaan panen. Di Tana Toraja, kerbau dipakai dalam upacara pemakaman. Di Nusa Tenggara Timur, keberadaan ternak babi menjadi sangat penting dalam acara adat. Setiap tahun, ratusan ribu hewan disembelih secara serentak saat Hari Raya Idul Adha sebagai bagian dari praktik keagamaan dan budaya. Namun demikian, sektor peternakan Indonesia menghadapi tantangan serius, terutama dalam kesehatan hewan dan produktivitas. Beban penyakit dipengaruhi oleh sistem produksi, praktik pemeliharaan, biosekuriti, akses ke layanan kesehatan hewan, kondisi lingkungan, serta faktor bencana alam seperti gempa dan letusan gunung berapi.

Indonesia memiliki pengalaman menghadapi wabah penyakit hewan seperti flu burung (HPAI), ASF, LSD, dan PMK  yang menimbulkan kerugian ekonomi besar serta kekhawatiran publik akan keamanan pangan dan potensi zoonosis. Contohnya, wabah flu burung pada tahun 2004–2007 menyebabkan kerugian ekonomi yang sangat besar, mencakup biaya pemusnahan unggas, gangguan perdagangan, penurunan permintaan konsumen, dan biaya pengobatan.

Selain penyakit menular, produktivitas ternak juga terganggu oleh masalah lain seperti kurangnya pakan berkualitas, manajemen reproduksi yang kurang optimal, dan praktik budidaya yang belum efisien, terutama di peternakan berinput rendah. Di daerah terpencil, penerapan biosekuriti pada peternakan masih rendah dan cakupan layanan kesehatan hewan masih terbatas. Seringkali, hewan sakit hanya diobati secara tradisional atau tidak mendapat penanganan, yang menyebabkan tingginya angka kematian.

Selengkapnya Baca di Majalah TROBOS Livestock edisi 310/ Juli 2025

Tag:

Bagikan:

Trending

WhatsApp Image 2025-08-15 at 16.24
Kemitraan Peternak & Swasta Dalam Tingkatkan Produksi Sapi Perah
WhatsApp Image 2025-08-15 at 16.24
Pengembangan Ternak Ruminansia Berkelanjutan
TROBOS Goes To Campus UNS
TROBOS Goes to Campus Kolaborasi dengan USSEC & UNS
WhatsApp Image 2025-07-22 at 16.09
Pemanfaatan Spirulina sebagai Pakan Inovatif
WhatsApp Image 2025-07-21 at 14.44
FATS Sebagai Pondasi Pembangunan SDM Unggul
banner2 1
banner6 1
banner1
Scroll to Top

Tingkatkan informasi terkait agribisnis peternakan dan kesehatan hewan. Baca Insight Terbaru di TROBOS Livestock!