Salmonelosis merupakan penyakit zoonosis yang sangat penting untuk dipahami, baik peternak maupun masyarakat secara luas yang mengonsumsi produk unggas. Salmonelosis merupakan penyakit bakterial yang disebabkan oleh genus salmonela.
Membahas tentang penyebab salmonelosis, Safika, Lektor Kepala, Divisi Mikrobiologi Medik, Sekolah Kedokteran Hewan dan Biomedis, IPB University dalam Mimbar TROBOS Livestok edisi ke-41, mengatakan bahwa salmonela adalah bakteri gram negatif penyebab terjadinya salmonelosis yang berbentuk batang berukuran sekitar 2 µm. Bakteri ini memiliki dinding sel dengan lapisan luar yang terdiri dari lipopolisakarida, yang membuatnya lebih tahan terhadap kondisi lingkungan yang keras. Salmonela sendiri termasuk ke dalam keluarga Enterobacteriaceae.
Pada umumnya, salmonela berupa motil (flagela peritik) kecuali galinarum dan pullorum. “Salmonelatidak membentuk spora, namun dapat bertahan hidup dan tumbuh pada suhu antara 5 – 46 °C, dengan suhu optimal 35 – 37 °C dan pH 3,8 – 9,5 atau optimal pada 6,5 – 7,5,” pungkasnya pada Kamis (28/12) secara online.
Salmonelaini merupakan facultative intracellular, patogen yang memiliki lebih dari 2.600 serovaryang mana 100 serovar bisa menginfeksi manusia. Lebih dari 1.500 serovar berasal dari subspesies Salmonella enterica yang berkoloni pada saluran pencernaan hewan.
Ia menegaskan, 99 % serovar-serovar ini bertanggung jawab atas infeksi salmonela. Pada unggas, sering ditemukan serovar S. gallinarum, S. pullorum, S. enteriditis. Selain itu, ditemukan pula S. typhimurium, S. heidelberg, S. infantis, S. lille, S. kentucky, dan lain-lain.
Terdapat 2 spesies pada salmonela, yaitu S. bongori dan S. enterica. Pada S. enterica, terdapat 6 subspesies berdasarkan sifat biokimia dan filogenetiknya. Sebagian besar dari serovar salmonela ini, tidak tumbuh pada suhu kurang dari 7 °C dan pH kurang dari 45.
Di alam, hidupnya tidak terlalu lama, misalnya pada tinja tikus bisa bertahan 148 hari. “Pada suhu 0 °C bisa bertahan 8 minggu, dan jika suhu 37°C bisa bertahan 1 minggu. Sedangkan di bawah sinar matahari, bakteri akan mati dalam beberapa jam,” katanya.
Bakteri ini juga dapat mati pada suhu pasteurisasi selama 15 – 20 menit. Selain itu, salmoneladengan digunakan fenol, kalium manganat (KMnO4) dan raksa(I) klorid (HgCl2) dalam waktu antara 10 – 12 menit.
Ia melanjutkan, gejala dari salmonelaini pada umumnya adalah ayam terlihat lemah, mengalami anoreksia, pertumbuhannya kurang baik, diare, adanya kotoran yang putih (berak kapur), saraf sayapnya lemah terkulai, produksi telurnya akan turun jika pada layer (ayam petelur) dan menyebabkan kematian.
Tingkat keparahan dari infeksi salmonelaini bervariasi, tergantung usia dari host-nya. “Juga bergantung pada kondisi sistem imun, adanya ko-infeksi dari penyakit lain, stres lingkungan yang diakibatkan dari panas, ataupun padatan di kandang.
Salmonela dapat menular secara horizontal melalui fecal-oral, vektor, serta pakan dan air yang terkontaminasi salmonela. Sementara secara vertikal, bisa melalui telur, induk ke telur, melalui oviduknya, atau bisa juga terkontaminasi dari kloakanya.
Patogenesis dari salmonela ini adalah dengan masuk ke dalam saluran pencernaan, kemudian menempel pada dinding saluran pencernaan dan melakukan kolonisasi serta melakukan invasi. “Sehingga masuk ke dalam mucosal epithelium, sel epitel, macrophage, hingga masuk ke dalam hati, oviduk maupun ke limfa,” jabarnya.
Salmonelosis di Lapangan
Pada kesempatan yang sama, Rizqy Arif Ginanjar, Veterinary Health and Customer Service (VHCS), West Java of Bekasi Mill, PT. Gold Coin Indonesia menerangkan bahwa salmonelosis dikategorikan menjadi 2 grup, yakni salmonelosisyang disebabkan oleh salmonela yang bersifat non-motil seperti S. pullorum dan S. galinarum pada unggas, menjadi penyebab munculnya pullorum disease danfowl thypoid. Juga salmonelosisyang disebabkan oleh salmonelayang bersifat motil seperti S. enteritidis dan S. thypimurium.
Ia melaporkan bahwa kasus salmonelosis yang sering dijumpai di lapangan ialah pullorum disease danfowl thypoid, penyakit ini dapat menimbulkan beberapa temuan yang bisa terus menggerus dari jalannya produksi pemeliharaan. “Pada broiler (ayam pedaging), salmoneladapat menghambat pencapaian bobot badan, meningkatkan angka morbiditas dan mortalitas, pada akhirnya tidak akan mendapat nilai yang maksimal baik dari sisi produksi maupun sisi ekonomis,” ujarnya.
Pada kasus pullorum disease, ciri umum yang ditemukan adalahberak kapur atau bacillary white diarehea. Pullorum disease disebabkan oleh s. pullorum, dapat menyebabkan kematian yang sangat tinggi terutama pada anak ayam umur 1-10 hari. “Sementara kita tahu, pondasi awal broiler ada pada 1 minggu pertama. Jika di minggu pertama kita tidak bisa memaksimalkan potensi genetik dari broiler, maka akan menyulitkan kita dalam pemeliharaan,” ungkapnya.
Pullorum dapat menular melalui penularan secara vertikal atau kongenital dari induk ayam betina kepada anaknya melalui telur, secara horizontal melalui kontak langsung antara unggas yang secara klinis sakit dengan ayam carrier atau ayam sehat, secara tidak langsung melalui oral dari makanan dan minuman yang tercemar, peralatan, kandang, litter, dan pakaian dari pegawai kandang yang terkontaminasi. Ataupun secara aerogen, biasanya penularan terjadi dalam mesin tetas melalui debu, bulu-bulu anak ayam, dan pecahan kulit telur.
Ayam muda biasanya lebih rentan terhadap infeksi. Kejadian penyakit ini biasanya dipengaruhi oleh pergantian musim atau pada saat fluktuasi temperatur sangat tajam dan faktor stres dari hewan. Sementara itu, distribusi penyakit infeksi pullorum menyerang ayam hampir di seluruh peternakan ayam yang ada di wilayah Indonesia.
Ia mengungkapkan, gejala klinis yang dapat terlihat pada ayam yang terdampakpullorum di antaranya yaitu terlihat mengantuk (mata menutup), jengger kebiruan, bergerombol pada suatu tempat dan nafsu makan berkurang. Pada umumnya memperlihatkan diare putih atau coklat kehijauan-kehijauan dan terdapat gumpalan seperti pasta disekitar kloaka.
Selain itu, terjadi kelemahan pada kaki, sayap menggantung dan kusam, lumpuh karena arthritis, dan nampak sesak napas. “Terjadi pembengkakan pada sendi merupakan gambaran umum pada pullorum. Sedangkan ayam-ayamyang dapat bertahan hidup akan mengalami hambatan pertumbuhan,”sebutnya.
Sering kali ditemukan nodul-nodul berwarna putih keabu-abuan pada jantung, paru-paru, hati, dinding ampela, dan usus. Terjadi peradangan pada limpa, pembengkakan ginjal, hingga retained yolk.
Selain pullorum disease, Rizqy mengatakan,di lapangan juga sering ditemukan fowl thypoidyang merupakan penyakit septikemia akut atau kronis yang terutama menyerang ayam dewasa dan kalkun. Fowl typhoid merupakan penyakit yang disebabkan oleh bakteri S. enterica serovar gallinarum.
Angka morbiditas pada kasus ini bisa mencapai 10-100 % yang dapat dipengaruhi oleh tingkat stres di kandang. Penyebarannya dapat melalui transovarial (vertikal) maupun horizontal melalui kontaminasi pakan atau air minum oleh feses mengandung S. gallinarum.
Ia melanjutkan, gejala klinis yang tampak pada ayam terinfeksi yaitu anak ayamterlihat mengantuk, mengalami hambatan pertumbuhan, lemah, kehilangan nafsu makan, serta adanya material berwarna keputihan yang melekat di sekitar kloaka. Pada anak ayam yang terinfeksi dapat juga memperlihatkan gangguan pernapasan.
Di samping itu, juga terjadi pembengkakan pada hati, limpa dan ginjal. Hal ini dapat menimbulkan anemia serta enteritis. “Namun jika ada ditemukan gejala seperti ini, tetap diperlukan peneguhan diagnosa dari uji laboratoriumdegan melakukan sampling untuk identifikasi dan isolasi terhadap bakteri yang ada di kandangkita,” tandasnya.
Pencegahan Salmonelosis di Kandang
Lanjut Rizqy, mekanisme manajemen pemeliharaan yang intensif dan terintegrasi menjadi landasan penting untuk membantu menanggulangi kejadian kasus di lapangan untuk menanggulangi adanya temuan salmonelosis di kandang. Adapun langkah cepat yang dapat dilakukan biasanya pemberian preparat antibiotik berupa amoxicilin, flurquinolone, sulphonamide dengan uji sensitivitas antibiotik. Namun, pemberian antibiotik tidak serta-merta bisa menanggulangi masalah dengan tuntas. Diperlukan juga terapi suportif yang lain seperti pemberian probiotik, vitamin, dan lain-lain.
Sementara itu, dalam jangka panjangnya, ia menyarankan peternak untuk melakukan perbaikan manajemen pemeliharaan, mulai dari biosekuriti, monitoring, hingga evaluasi. Hal-hal yang bisa dilakukan di kandanguntuk menekan salmonelaagar tidak terjadi outbreak, dapat dimulai dari peningkatan persiapan, baik kandang, peralatan, anak kandang, day old chick (DOC atau ayam umur sehari) yang datang. Juga mengantisipasi iklim cuaca saat ini.
Pengecekan dilakukan pada pemanas, sensor suhu, ventilasi, tempat minum, tempat pakan, kebersihan kandang, hingga sistem air. “Perhatikan ketersediaan suhu ideal untuk anak ayam. Biasanya suhu lantai sekitar 28 – 30 °C, suhu brooder 40°C, suhu ruang 32 – 33 °C. Dan jika suhu tubuh dikurangi suhu ruang, maka hasilnya tidak akan kurang dari 8 °C,” jelasnya.
Anak ayam belum maksimal dalam termoregulasi tubuhnya sampai di umur 5 hari. Sehingga perlu dimaksimalkan untuk manajemen borooding. Apabila ayam menggunduk di salah satu sisi bisa jadi ada angin masuk, sehingga udara bergeser dan ayam mencari tempat yang lebih hangat. Jika terlalu panas, posisi ayam akan menjauhi pusat pemanas. Dan jika ayam berkumpul disekitaran pemanas, maka suhu pemanas kurang.
Selanjutnya, memerikasa kondisi DOC, apakah ada temuan-temuan yang mengarah ke kasus salmonelosis atau penyakit yang lain. Mulai dari respon, mata, pusar, kaki, paruh, kloaka, keseragaman, dan lain-lain. Evaluasi dilakukan pada umur 7 hari, dengan parameter yang diukur yaitu relative growth (RG), uniformity, dan total deplesi.
Di samping itu, program sanitasi dan biosekuriti menjadi hal penting yang bisa diterapkan sebagai langkah awal untuk mengantisipasi masuknya kejadian penyakit. Sanitasi peternakan merupakan usaha yang dilakukan untuk mencegah perpindahan dan penyebaran penyakit di suatu peternakan dengan menjaga kebersihan kandang, peralatan dan lingkungan.
Sedangkan disinfeksi yaitu usaha yang dilakukan untuk membasmi agen penyakit dengan menggunakan bahan kimia atau disinfektan. Pasca ayam dipanen ataupun afkir, sisa-sisa material pemeliharaan ayam seperti feses, bulu, lendir, dan litter masih tertinggal di dalam kandang. “Material organik seperti feses merupakan salah satu media penularan penyakit. Terlebih lagi juga dapat menurunkan efektivitas disinfektan karena akan menghalangi kontak antara disinfektan dengan bibit penyakit,” ucapnya.
Maka sanitasi dapat dilakukan dengan mengeluarkan peralatan kandang seperti tempat ransum dan tempat minum, mengeruk sisa limbah kandang menggunakan sekop atau sapu hingga tidak bersisa, membersihkan semua bagian kandang meliputi sela-sela dinding dan lantai kandang dengan penyemprotan air bersih bertekanan tinggi. Kemudian membersihkan rumput dan semak di sekitar kandang agar tidak menjadi tempat tinggal bagi vektor, bersihkan pula parit atau selokan di samping kandang agar aliran pembuangan air lancar.
Lalu, lakukan pengapuran di bawah kandang panggung dan seluruh bagian kandang untuk mengurangi kelembapan dan membunuh sisa-sisa mikroorganisme penyebab penyakit. Lakukan inspeksi menyeluruh pada kandang jika ada menemukan kebocoran kandang, slat berlubang, atau tirai bolong untuk segera dilakukan perbaikan. “Kuras torn air dan flushing pipa air untuk menghilangkan biofilm yang menempel di sepanjang saluran instalasi air,” tambahnya.
Kemudian, biosekuriti merupakan cara untuk mencegah serangan bibit penyakit dari luar tubuh ayam dengan meminimalisir bibit penyakit di lingkungan peternak dan kandang. Terdapat 3 klasifikasi zona dalam sistem biosekuriti yang terbagi menjadi zona merah (area kotor), zona kuning (area transisi), dan zona hijau (area produksi).
Selengkapnya Baca di Majalah TROBOS Livestock edisi 292/ Januari 2024