Foto: dok.istimewa
Jakarta (TROBOSLIVESTOCK.COM). Setiap ekor sapi akan membutuhkan energi untuk kebutuhan hidupnya, bereproduksi, bergerak, menurunkan stres, menghasilkan susu, menghasilkan dagung, hingga untuk menjalankan seluruh sistem metabolisme dalam tubuh.
Secara sederhana, energi di dalam tubuh ternak berasal dari perombakan glukosa membentuk ATP (Adenosine Triphosphate), yang kemudian dirubah menjadi energi.
Oleh karena itu, setiap sapi akan membutuhkan glukosa. Jika kadar glukosa menurun atau berkurang, maka karbohidrat akan dirombak sedemikian rupa untuk diubah menjadi glukosa, sehingga dapat dibentuk kembali menjadi energi. Jika karbohidrat tidak mencukupi, maka siklus metabolisme energi akan beralih dengan membongkar cadangan lemak yang ada pada jaringan adiposa untuk diubah menjadi karbohidrat.
Perombakan lemak menjadi karbohidrat inilah yang akan menghasilkan by product berupa keton. Hal tersebut disampaikan oleh Deddy Fachruddin Kurniawan, Group Owner & CEO Dairy Pro Indonesia sekaligus Direktur Operasional PT. Moosa Genetika Farmindo, dalam seminar berbasis online.
“Maka dengan logika sederhana ini sebenarnya kita bisa memahami kalau seandainya seekor sapi memiliki badan keton lebih dari biasanya, biasa kita sebut dengan ketosis. Artinya sapi ini sedang kekurangan energi,” jabarnya.
Dampak Ketosis
Ketosis dapat terjadi kapan pun, namun paling sering tejadi pada masa-masa kriits sapi. Seperti 3 minggu sebelum partus, 3 minggu pasca partus, proses menuju kebuntingan atau pada proses terjadi perubahan sistem metabolisme, juga pada masa kering kandang. Sementara pada sapi potong, maka kritis terjadi pada periode peralihan musim dan cuaca.
“Sapi yang mengalami ketosis biasanya akan menempelkan kepalanya dengan tubuhnya, lemas seperti tidak memiliki energi. Gejala awalnya mulai terlihat dari pakan konsentrat yang sisa, produksi susu yang menurun, lethargy atau terlihat sangat lelah, dan perut yang kosong,” sebutnya.
Sapi yang melahirkan butuh energi yang sedemikian besar untuk melakukan involusi uteri, eliminasi bakteri. Kalau terjadi ketosis, kemampuan sapi untuk mengeliminasi bakteri, menginvolusi bakteri juga akan tertunda.
Maka secara otomatis, Days Open (jarak waktu antara kondisi induk setelah beranak hingga bunting kembali) dan Calving Interval (jarak waktu antara satu kelahiran dengan kelahiran berikutnya) juga akan lebih panjang.
Tidak hanya sapi perah, pada sapi potong juga mengalami hal yang sama. Sapi yang mengalami ketosis, stok energinya akan menurun, menyebabkan kemampuan untuk menghasilkan sel telur juga akan menurun. Kemudian kemampuan untuk mematangkan folikelnya juga akan menurun, otomatis sapi akan sulit birahi.
Di samping itu, sapi yang memiliki BCS 4,5 atau terbilang gemuk menjelang melahirkan ini akan berbahaya. Karena pada saat itu, peluang untuk terjadi fatty liver akan sangat besar. Sapi yang makannya terlalu banyak, energinya banyak tapi tidak dibuang dengan cara menghasilkan susu dan lain-lain, maka stok energinya akan ditimbun dalam bentuk lemak.
“Liver adalah organ paling akhir yang mendapatkan cadangan penimbunan lemak. Salah satu fungsi liver adalah melakukan siklus krebs untuk menghasilkan energi dalam bentuk ATP. Terganggunya siklus krebs dalam menghasilkan energi inilah pemicu utama mengapa sapi tidak mampu menghasilkan energi. Sehingga kalau ini terjadi pada sapi-sapi yang menjelang melahirkan, risikonya adalah sapi-sapi ini akan mengalami kegagalan dalam memobilisasi energi,” tandasnya.
Pencegahan dan Penanganan
Deddy menerangkan bahwa ketosis dapat dicegah dengan pemberian nutrisi seimbang sesuai dengan tahapan fisiologis sapi. Seperti misalnya manajemen nutrisi yang diterapkan pada sapi-sapi sebelum melahirkan itu akan sangat menentukan kemampuan sapi untuk mensuplai energinya.
Selain itu, ia menyarankan untuk memperhatikan kesehatan hati, dimana liver sendiri memiliki fungsi untuk Detoksifikasi, Metabolisme kalsium, dan Metabolisme energi. “Karena liver adalah sumber dari metabolisme energi. Liver akan menjadi sebab utama bagaimana sapi bisa menghasilkan energi yang cukup untuk metabolisme sapi secara umum,” paparnya.
Ketosis dapat dideteksi dengan menggunakan sampel berupa urin, susu, atau dengan darah. Sapi yang normal memiliki kadar glukosa 50 mg/dl dan kadar keton 1.200 – 1.400 µmol/l. Jika kadar keton lebih dari normal, maka dapat dipastikan bahwa sapi mengalami ketosis.
“Kalau anda punya sapi perah, bisa dilihat dari hasil laporan lactoscan untuk bisa melihat apakah secara umum apakah sapi mengalami ketosis. Caranya dengan membandingkan antara kadar lemak susu dengan kadar protein susu. Rata-rata Perbandingan normal antara lemak dengan protein susu adalah 1,27. Jika lebih dari normal, kemungkinan sapi mengalami ketosis,” jelas Deddy.
Bicara tentang energi, maka pada penanganan ketosis adalah bagaimana meningkatkan stok energi pada sapi. Ia menyebutkan, sapi yang mengalami ketosis dapat diberikan propylene glycol, rehidrasi, atau fresh drenching secara oral, atau dengan pemberian ATP-Vit B12 melalui injeksi.ue/shara