BROILEREVOLUTION

Memasuki masa era revolusi industri 4.0, maka industri perunggasan broiler (ayam pedaging) harus berbenah diri agar dapat mengikuti tren perkembangan industri perunggasan global dengan meningkatkan status sistem pemeliharaan broiler dari sistem konvesional yang umumnya masih menggunakan alat-alat secara manual menjadi alat yang semi modern.

 

Hal tersebut sangat penting untuk dilakukan sebagai upaya pengembagan industri perunggasan Indonesia dalam era revolusi industri 4.0. Maka mau tidak mau, peternak harus beradaptasi dengan kondisi tersebut. Walaupun di satu sisi iklim kondisi bisnis perunggasan masih belum membaik. Dampaknya saat ini, banyak peternak mandiri yang berguguran. Kondisi penurunan jumlah peternak karena berbagai macam permasalahan, mulai dari fluktuasi harga hingga soal aturan distribusi pembagian DOC (ayam umur sehari) ke peternak yang ternyata saat ini belum berjalan. Oleh karena itu, dengan adanya kemajuan zaman saat ini yang terus berkembang hingga memasuki revolusi industri 4.0 yang digaungkan diharapkan dapat membantu peternak untuk meningkatkan efisiensi dan produktivitas.

 

Seperti yang diyakini Setya Winarno, peternak broiler di Bogor, Jawa Barat yang merupakan salah satu peternak yang masih dapat survive hingga saat ini. Ia ungkapkan adanya revolusi industri 4.0 itu pasti akan dapat membantu. “Karena ada pepatah mengatakan dengan ilmu hidup menjadi mudah dengan seni hidup menjadi indah dengan aturan hidup menjadi terarah. Sehingga dengan teknologi dan ilmu pasti menjadi mudah, hanya tidak sedikit yang bisa mengikuti dan menerima kondisi tersebut. Selama 5 tahun terakhir banyak peternak yang tumbang, karena sudah habis-habisan.

 

Kendati demikian, sisa peternak yang masih bertahan dan calon peternak baru, itu yang bisa menikmati teknologi industri 4.0,” ujar Winarno penuh harap. Ia mengatakan, sejumlah tantangan juga terbuka lebar dalam menghadapi revolusi Industri 4.0 yang memang cukup kompleks. Ia mencontohkan, misalnya saja mentalitas yang tidak siap untuk berubah adalah salah satu penghalang utama. Selain itu, ada juga masalah intelektual dan finansial.

 

“Meski tantangan ini terpenuhi, kita tetap menghadapi kendala besar karena dominasi perusahaan besar yang mampu melakukan subsidi silang, sehingga harga input mereka bisa ditekan dan dapat mengambil keuntungan lebih besar di pasar. Para peternak perlu sadar diri untuk memperbaiki mentalitas, wawasan, dan kondisi finansial mereka. Di sisi lain, integrator perlu memperbaiki hubungan dan cara berinteraksi dengan peternak. Sedangkan, pemerintah juga harus memperbaiki cara mengurus rakyatnya,” tutur Winarno.

 

Ia menambahkan, salah satu tantangan lainnya adalah meyakinkan generasi penerus (Gen Z), bahwa bisnis peternakan adalah usaha yang menjanjikan asal dikelola dengan baik. Pemerintah dan integrator harus bekerja sama untuk memastikan sinergi yang menguntungkan semua pihak, memberikan kesempatan yang adil agar semua dapat hidup berdampingan dan memperoleh keuntungan yang seimbang. Senada, Alvino Antonio, Ketua Komunitas Peternak Unggas Nasional (KPUN) mengatakan dengan kehadiran revolusi industri 4.0 sangat membantu tetapi kenyataannya banyak peternak yang kandangnya sudah modern dan menggunakan teknologi 4.0, nyatanya masih ada resiko rugi.

 

Ia melihat permasalahan di perunggasan bukan di harga hilirnya tetapi di harga hulunya yang tidak wajar. “Kadangkala harga jagung itu dari Rp 4.000 - Rp 5.000 per kg bisa melonjak ke harga Rp 9.000 per kg, sehingga banyak pengaruhnya dari bahan baku pakan ternak yang hampir 70 persen biaya produksi dari pakan. Selain itu, bahan baku pakan kita masih didominasi impor yang dipengaruhi oleh nilai dolar,” keluh Alvino. Alvino melihat ada sejumlah kendala dalam kemajuan revolusi industri 4.0. “Bila kita lihat teman yang sudah menggunakan teknologi 4.0 saja bisa tidak optimal karena kuncinya di harga Input. Pasalnya dengan teknologi revolusi industri 4.0 itu butuh biaya,” tegasnya.

 

Alvino memberikan contoh misalnya saja, penggunaan closed house (kandang tertutup) yang bertujuan supaya meningkatkan efisiensi namun ada beberapa peternak mandiri atau peternak mitra yang khususnya di wilayah Jawa Timur performanya kandangnya masih baik. Walaupun dengan open house (kandang terbuka) “Tidak selalu closed house hasilnya lebih bagus dari open house sebab lingkungan juga berpengaruh ke performa. 

 

Kalau ditanya teknologi itu penting, memang penting hanya saat ini harga input seringkali lebih tinggi dibanding harga outputnya,” terangnya. Namun ia berharap, dukungan semua pihak terhadap revolusi industri 4.0 ini. Seperti asosiasi akan berupaya untuk teman – teman peternak yang belum menggunakan teknologi 4.0, untuk menggunakannya. Menurutnya, teknologi 4.0 itu cukup baik karena melihat beberapa teman-teman peternak sudah menggunakan teknologi 4.0 “Kedepannya memang teknologi 4.0 itu harus mulai diaplikasikan oleh peternak,” tandas dia.

 

Selengkapnya Baca di Majalah TROBOS Livestock edisi 298/ Juli 2024

 
Livestock Update + Moment Update + Cetak Update +

Artikel Lain