Esensi Data dalam Pembangunan Peternakan

Esensi Data dalam Pembangunan Peternakan

Foto: 


Data pemerintah dengan pelaku usaha peternakan harus sama, dan harapannya ada validitasi serta harus mencerminkan kondisi di lapangan

 

Data dalam pembangunan industri peternakan memegang peranan penting, salah satunya untuk pengambilan suatu kebijakan. Data peternakan tersebut haruslah akurat, akuntabel dan dapat dipertanggungjawabkan. Beberapa saat lalu Badan Pusat Statistik (BPS) pun telah melakukan sensus pertanian, yang di dalamnya terdapat subsektor peternakan pula. Kendati begitu, data tersebut belum bisa dipublikasikan dengan beberapa alasan dan pertimbangan.

 

Menyinggung terkait data populasi dan produksi peternakan, Ketua Umum GKSI (Gabungan Koperasi Susu Indonesia), Dedi Setiadi mengungkapkan bahwasanya sensus peternakan umumnya termasuk big farm, middle farm dan juga per orangan. Dedi sendiri hanya bisa melaporkan populasi sapi perah di bawah GKSI saja. Di mana pasca PMK (penyakit mulut dan kuku) itu, GKSI kehilangan sebanyak 2.231 peternak, 12.367 ekor sapi dan 30 % produksi susu yang ada di Indonesia.

 

“Detailnya, jumlah peternak sapi perah saat ini di Jawa Barat 13.802 peternak, Jawa Tengah 16.263 peternak, dan Jawa Timur 43.458 peternak. Sedangkan jumlah populasi sapi perah di Jawa Barat 60.447 ekor, Jawa Tengah 41.495 ekor dan Jawa Timur 124.887 ekor. Jawa Timur sendiri populasinya dua kali lipat dari Jawa Barat. Sementara untuk produksi susunya Jawa Barat 301.000 liter, Jawa Tengah 110.000 liter dan Jawa Timur 980.000 liter,” sebutnya.

 

Ketua Dewan Gapuspindo (Gabungan Pelaku Usaha Peternakan Sapi Potong Indonesia), Didiek Purwanto pun ikut angkat bicara. Di mana populasi sapi potong saat ini ada sekitar 11,3 jutaan ekor. Menurutnya, jumlah ini mengalami penurunan jika dihitung sejak 2013 hingga 2023 (satu dekade). Adapun menurut pemerintah, populasi sapi potong nasional sekitar 18,5 juta namun realitanya setelah dilakukan sensus hanya 11,3 juta ekor.

 

Sementara itu, Sekretaris Jenderal Gabungan Organisasi Peternak Ayam Nasional (Sekjen GOPAN), Sugeng Wahyudi mengatakan bahwa produksi DOC (ayam umur sehari) nasional sekitar 62 juta ekor per minggu. “Menurut kebutuhan dari Kementerian Pertanian sekitar 61 juta ekor per minggu, sehingga ini masih dalam batas-batas yang wajar. Seharusnya tidak akan ada gejolak terkait dengan harga di 2024,” tutur Sugeng.

 

Keselarasan Data

Sugeng berkomentar, yang perlu dievaluasi ialah kesamaan data pemerintah dengan pelaku. Datanya harus sama, dan harapannya ada validitas data. Data ini harus mencerminkan kondisi di lapangan, sehingga para pelaku tidak terjebak. Artinya, harus ada transparansi dari para pelaku untuk melaporkan kondisi riil budidaya PS-nya (parent stock) dan ini mutlak dilakukan.

 

Adapun Didiek menambahkan, bahwa penyajian data atau sistem pelaporan data dari daerah ke pusat itu yang kelihatannya terjadi miss, sehingga data yang dilaporkan itu mungkin kondisinya tidak riil sesuai dengan kondisi sebenarnya yang ada di lapangan. “Bagaimana caranya koordinasi dari daerah ke pusat terkait data. Sistemnya harus disiapkan untuk data informatika, bukan hanya sapi tetapi komoditas lain juga sebab selalu miss,” ungkapnya secara gamblang.

 

Berikutnya, setelah memiliki sistem yang bagus maka dilakukan sesuai dengan sistem tersebut. Kemudian selalu dilakukan evaluasi secara rutin tiap tahun, karena data itu digunakan sebagai dasar untuk pengaturan rencana anggaran dari masing-masing departemen atau masing-masing subsektornya. Jika seandainya datanya sudah tidak sesuai dengan kondisi riil, maka penyusunan anggarannya akan menjadi masalah.

 

“Harus ada sistem dan itu dilakukan secara konsisten antara daerah dan pusat. Selanjutnya dilakukan evaluasi secara berkala mekanisme daripada pelaporannya. Terlebih pasca PMK dan LSD (Lumpy Skin Disease), harus ada laporan yang riil. Di mana outbreak PMK dan LSD ini pasti mempengaruhi jumlah populasi sapi, karena banyak yang mati dan dilakukan potong paksa saat itu,” ujar dia.

 

Sementara itu, Dedi mengungkapkan bahwa dari data tersebut, pertama, pelaku persusuan harus memperbaiki sapi yang ada dulu. Di mana sapi yang ada ini bisa ditingkatkan produktivitasnya ketika ada pakan yang bagus, sebab 70-80 % produksi itu ditentukan oleh pakan, baik pakan hijauan maupun konsentrat. Itu yang harus digenjot dulu, supaya sapi itu secara nutrisi untuk hidupnya ada, nutrisi untuk susunya juga ada, sehingga sehingga sapi bisa berproduksi secara maksimal pasca PMK ini.

 

 Kedua, Dedi menilai harus ada bibit. “Upaya bibit yang kita lakukan ini adalah IB (Inseminasi Buatan) dengan pejantan yang bagus dan menggunakan straw sexing untuk mendapatkan pedet betina antara 70-80 %. Kalau kita impor sekarang harganya Rp 50 juta – 55 juta per ekor, itu pun buntingnya baru 3-4 bulan kemudian. Selanjutnya membuat breeding center, ini penting karena sapi bagus atau tidaknya dimulai dari sapi tersebut bunting,” terangnya.

 

Ia mengisahkan bahwasanya dahulu ada mitos, sapi yang sedang kering kandang tidak boleh diberi konsentrat.Namun sekarang berbeda, sehingga sapi-sapi yang kering kandang itu harus diberikan lebih banyak konsentrat yang bagus, pasalnya berguna untuk hidup induk dan anaknya, serta untuk mempersiapkan susunya agar produksinya optimal.

Selanjutnya adalah impor indukan serta manajemen. “Jika kita berbicara kunci sukses peternakan itu ada feeding, breeding dan manajemen. Pertama kandang, karena apabila sapi nyaman itu produksinya pasti tinggi. Kemudian melakukan pemberian pakan sesuai dengan klasifikasi sapi, yaitu sapi laktasi, sapi kering kandang, dara bunting, dara kosong, hingga pedet juga berbeda,” kata dia.

 

Penggunaan mesin perah, ia melanjutkan, sebenarnya sudah umum. Kendati demikian, masih banyak juga yang belum menggunakan mesin perah. Kemudian, sekarang ini peternak harus menerapkan biosekuriti, karena PMK masih akan menghantui sampai sekitar 3 tahun lagi. Oleh sebab itu, biosekuriti itu wajib diterapkan secara ketat di peternakan masing-masing.

 

Tantangan Industri Peternakan

Didiek mengakui, tantangan saat ini ialah populasi sapi potong nasional ‘tidak terdukung dengan baik’. Artinya, produksi lokal tidak mumpuni guna memenuhi kebutuhan daging sapi nasional. Berikutnya, memang saat ini sulit untuk menggunakan data yang sama sebagai pijakan perencanaan di industri sapi potong. Maka pemerintah harus memutuskan, apakah data harus berdasarkan BPS atau Kementan, sehingga tidak saling menyalahkan yang pada akhirnya tidak akan menyelesaikan persoalaan.

 

“Saya sarankan harus ada evaluasi setiap tahunnya. Tantangan berikutnya memang kondisi ekonomi kita belum berjalan dengan baik. Dalam arti masih rentan sekali daya belinya, sehingga belum pulih usai Covid-19. Harus diakui memang tidak seperti dulu, sehingga kemampuan untuk bisa mengonsumsi protein hewani itu juga akhirnya mempengaruhi dari demand. Mungkin secara global (makro) dikatakan baik, tapi sebenarnya di bawah itu (mikro) menjadi persoalan,” urainya.

 

Didiek pun mengungkapkan, pemerintah harus menyusun program pembangunan atau cetak biru (blue print) peternakan dan itu harus dilakukan secara komprehensif sesuai dengan kondisi sumber daya lokalnya. Kemudian ini harus dibagikan ke daerah-daerah, sehingga daerah sampai ke pusat memiliki kemampuan yang sama di dalam cetak biru, dan tahu apa yang harus dilakukan di industri sapi potong itu. Adapun cetak birunya harus bebas dari kepentingan politis dan harus secara konsisten diwujudkan.

 

Lebih lanjut, Sugeng mengutarakan bahwa tantangan di industri perunggasan saat ini ialah input yang tinggi, khususnya biaya pakan. “Tantangan kedua, yakni produktivitas di kandang dan yang ketiga harga LB (live bird/ayam hidup) broiler (ayam pedaging), di mana harganya masih fluktiatif. Hal ini yang harus disikapi oleh para pelaku,” keluh Sugeng.

 

Adapun solusinya ialah koordinasi antar pelaku maupun dengan pemerintah. Ini menjadi penting, sebab tujuannya untuk mengurangi risiko jika terjadi hal-hal yang tidak diinginkan. Dalam hal ini sebagai peternak, seperti harga di bawah atau di atas, baik LB maupun input sapronaknya (sarana produksi peternakan). Kata kuncinya yaitu validitas data yang kadang-kadang itu tidak mencerminkan kondisi di lapangan, sehingga menyulitkan para pelaku.

 

“Harus ada transparansi data dari para pelaku untuk menginformasikan itu. Kadang-kadang apa yang dialami oleh peternak FS (Final Stock), tidak dialami oleh pembudidaya PS dan tidak dialami oleh pabrik pakan ternak (feedmill). Pelaku FS selalu termarjinalkan dan ini yang menjadi masalah,” keluhdia.

 

Selengkapnya Baca di Majalah TROBOS Livestock edisi 296/ Mei 2024

 
Livestock Update + Moment Update + Cetak Update +

Artikel Lain