Perangi Penyakit Infeksius dan Zoonosis dengan Teknologi Modern

Perangi Penyakit Infeksius dan Zoonosis dengan Teknologi Modern

Foto: Istimewa


Cibinong(TROBOSLIVESTOCK.COM). Penyakit infeksius dan zoonosis seringkali mengancam produktivitas peternakan, kesehatan, masyarakat veteriner, dan keamanan pangan nasional. Penyakit infeksius pada hewan tidak hanya menyebabkan kematian dan penurunan produktivitas ternak, tetapi juga berdampak signifikan terhadap perekonomian. 

 

Kepala Organisasi Riset Kesehatan, Badan Riset dan Inovasi Nasional (BRIN), Indi Dharmayanti mengungkapkan, di tengah tantangan penyakit menular terdapat kebutuhan mendesak untuk mengakselerasi penelitian di bidang penyakit infeksius pada hewan, seperti identifikasi virus zoonosis di kelelawar atau hewan lainnya. Sehingga, dapat lebih cepat dan efisien dalam mendeteksi, mengendalikan, dan menemukan solusi untuk berbagai penyakit yang mengancam baik, bagi manusia maupun hewan di Indonesia.

 

Indi mengutarakan, seiring perkembangan zaman, kemajuan teknologi memainkan peran penting dalam mempercepat penelitian di bidang penyakit infeksius. Pengembangan antiviral dengan pendekatan epigenetik berbasis interferensi RNA (RNAi) dan didukung dengan adanya teknologi modern memungkinkan kita untuk mendeteksi patogen lebih cepat dan lebih akurat, bahkan sebelum penyakit menampakkan gejala klinis.

 

Selain itu, teknologi deteksi pencitraan multimodal atau multimodal imaging memerankan peran penting dalam memahami bagaimana penyakit infeksius berkembang di dalam tubuh hewan. “Teknologi ini sangat membantu dalam penelitian yang bertujuan untuk memahami patogenesis penyakit, merancang strategi pengendalian, serta menguji efektivitas pasien atau obat dalam model hewan uji di Indonesia,” jelasnya, dalam seminar bertajuk ‘Accelerate Your Discovery for Combating Infectious Diseases’, pada Kamis (26/9).

 

Dirinya juga menambahkan penyebaran penyakit infeksius pada hewan sering terjadi dengan cepat akibat populasi ternak yang padat dan mobilitas hewan yang tinggi. Karena itu, teknologi ini menjadi sangat diperlukan untuk dikembangkan.

 

Kepala Pusat Riset Veteriner BRIN, Harimurti Nuradji menyampaikan, penyakit infeksius menular sangat berbahaya. Belajar dari kasus-kasus sebelumya seperti COVID-19 yang tidak hanya berdampak pada kesehatan hewan dan manusia, juga berdampak pada sektor ekonomi, sosial, psikologi, bahkan menyebabkan kematian. 

 

Pada rentang 2019-2022, ada berbagai penyakit yang sangat menular dan berbahaya yang ditularkan melalui hewan seperti African Swine Fever (ASF) atau demam babi Afrika dan penyakit mulut dan kuku (PMK). Hal ini menjadi tantangan periset untuk mengembangkan penelitiannya terkait cara mengatasi penyakit infeksius tersebut. “Kami mencoba meningkatkan riset dan persiapan dalam melakukan kegiatan-kegiatan yang terkait dengan penyakit infeksius, seperti upaya pencegahan, dan pengendaliannya ke depan,” imbuh Harimurti.

 

Pengembangan Antiviral Berbasis RNA Interference

Sementara itu, Peneliti Ahli Madya Pusat Riset Veteriner BRIN, Risza Hartawan, menjelaskan pengembangan antiviral dengan pendekatan epigenetik berbasis RNA Interference (siRNA vs miRNA untuk virus influenza). “Epigenetik merupakan studi tentang perubahan fenotip atau ekspresi genetik yang disebabkan oleh mekanisme selain perubahan sekuen DNA dasar. Mekanisme epigenetik yaitu remodelling kromosom, modifikasi histon, methilasi DNA, dan non-coding RNA,” jelasnya.

 

Penelitian RNAi akan difokuskan pada konstruksi vektor plasmid yang mengekspresikan small hairpin RNA sebagai kandidat antiviral terhadap virus influenza. “Tantangan dan peluangnya adalah mutasi virus (siRNA), off target silencing (miRNA), pemilihan sistem delivery yang aman dan efisien, aplikasi metode injeksi (invasivepromising medicine, paten berkaitan dengan siRNA, prospek pengembangan untuk penyakit virus yang bersifat kronis, seperti rabies, HIV, herpesvirus, dan lain-lain,” ujarnya.

 

Sedangkan Peneliti Ahli Pertama Pusat Riset Veteriner BRIN, Diana Nurjanah menerangkan, Indonesia memiliki keanekaragaman jenis kelelawar yang tergolong tinggi, yaitu sebanyak 239 jenis atau kurang lebih 21 % dari total jenis kelelawar di dunia. Indonesia juga memiliki 81 spesies kelelawar yang termasuk dalam subordo megachiroptera (fruit nectar-eating bats) dan 158 jenis subordo microchiroptera (non-fruit nectar eating bats).

 

Diana menguraikan peran kelelawar adalah mempertahankan dan meregenerasi hutan tropis melalui pemindahan pollen dalam jarak jauh. Diketahui, sekurang-kurangnya 300 jenis tumbuhan bergantung pada kelelawar dalam polinasi dan pemencaran biji. 

 

“Saat ini, populasi kelelawar sendiri sudah mengalami penurunan yang diakibatkan adanya degradasi habitat, lemahnya pengetahuan masyarakat tentang arti penting kelelawar dalam mata rantai ekologi, dan upaya konservasi jenis-jenis kelelawar masih tergolong rendah,” katanya.

 

Lebih lanjut Diana mengemukakan, masyarakat yang memiliki potensi paparan terbesar adalah mereka yang memiliki kontak erat dengan kelelawar. Sebagai contoh, para pencari kelelawar yang memiliki potensi tercakar atau tergigit oleh kelelawar.

 

Diana menyimpulkan, Indonesia menjadi negara dengan distribusi jenis kelelawar yang tinggi. Maka, masih sangat terbuka berbagai penelitian terkait kelelawar, di mana, kolaborasi internasional dan data sharing dari laboratorium sangat dibutuhkan untuk menginvestigasi bagaimana mutasi dari virus zoonosis itu sendiri.

 

“Penelitian ini diharapkan dapat fokus terutama pada famili atau jenis kelelawar yang saat ini masih belum tersentuh atau terlepas dari pandangan kita. Ke depannya, masih banyak yang harus kita teliti terkait peradangan virus kelelawar, seperti genomic analysis, transcriptome analysis, proteome, modelling, microbiome, fisiologi, dan virus/virome,” pungkasnya.shara

 

 
Livestock Update + Moment Update + Cetak Update +

Artikel Lain