Peternak Babi Giat Repopulasi

Peternak Babi Giat Repopulasi

Foto: 


Genetik berperan penting dalam peningkatan produktivitas babi di tanah air. Dalam upaya repopulasi babi di Indonesia dibutuhkan bibit dengan genetik unggul sebagai replacement untuk pemulihan populasi yang menurun

 

Wabah African Swine Fever (ASF) atau penyakit demam babi masih membayangi peternak babi tanah air sampai sekarang, karena menyebabkan tingkat morbiditas dan mortalitas yang tinggi. Seperti yang dialami oleh Alexander Kasim, peternak babi di Solo, Jawa Tengah yang terkena wabah ASF pada 2020, sehingga menyebabkan kematian massal dikandangnya. “Dari 2500 ekor hanya tinggal 10 persen yang tersisa,” cetusnya kepada TROBOS Livestock melalui saluran telepon.

 

Sambungnya, lalu melakukan repopulasi sampai 2022 dari 30 ekor sampai 100 ekor indukan. Namun pada 2022 akhir, terkena ASF lagi sehingga populasi kembali turun. “Sekarang lagi repopulasi dengan 40 ekor induk,” ujarnya.

 

Ia menyebutkan semangat peternak babi masih tinggi, melihat prospek industri babi nasional yang masih cerah. “Hanya disisi lain masih was – was masih belum berani total. Contohnya, beberapa peternak babi di wilayah Jawa Tengah masih agak was – was atau menunggu situasi dari perkembangan penyakit ASF yang masih belum ada vaksin efektif untuk mencegahnya. Disatu sisi, untuk membeli bibit ternak babi dari luar negeri harganya cukup tinggi,” ungkapnya.

 

Seolah mengiyakan Alexander, Frans Evan Sianturi peternak babi di Kecamatan Borong – Borong, Kabupaten Tapanuli Utara, Sumatera Utara mengatakan industri babi di saat ini memang kondisinya fluktuatif karena wabah penyakit ASF masih belum selesai sampai saat ini. “Jadi memang wabahnya terus saja tidak berhenti-berhenti. Tapi bagi masyarakat di Sumatera Utara memang siap beternak babi dengan penyakit ASF ini. Bahkan farm saya terkena pada Februari kemarin,” ujarnya.

 

Kondisi hampir sama terjadi di Pulau Dewata yang merupakan salah satu sentra ternak babi nasional. Diungkapkan Ni Putu Ria Puspita, peternak babi di Jembrana, Bali bahwa saat ini populasinya turun karena beberapa bulan lalu yaitu Februari, Maret dan April ada beberapa babi yang terkena virus ASF. Sehingga, banyak induk babi yang dijual atau apkir. “Peternak baru mulai lagi beternaknya saat ini. Walaupun ada juga peternak-peternak rumahan atau skala menengah, yang kemarin terinfeksi atau terkena virus ASF belum bisa memulai lagi ternaknya karena kerugiannya tidak sedikit,” sebutnya.

 

Namun Ni Putu Ria Puspita sebutkan semangat teman-teman peternak babi untuk beternak masih tinggi. Hanya masih ada trauma karena kemarin tidak hanya virus saja, ada yang 2-3 kali mulai ternak lagi tapi terkena lagi. Namun disatu sisi permintaan pasar lumayan tinggi seperti untuk ke Kalimantan ditambah lagi ke Sulawesi. Karena memang kekosongan populasi di sana,” cetusnya.

 

Repopulasi

Alexander kemukakan repopulasi tetap dilakukan peternak, hanya ada dua metode yaitu, pertama mengambil ternak dari luar farmnya. Metode kedua, melakukan breeding (pembibitan) dari ternak yang masih ada di farm. “Pernah melakukan kedua metode tersebut, tetapi dari segi keamanan memang metode kedua membutuhkan waktu yang cukup lama untuk menambah populasi di farm. Kira – kira waktu yang dibutuhkan 2 tahunan,” terangnya.

 

Sedangkan menurut Ketut Sugianta, peternak babi di daerah Kabupaten Waykanan, Bandarlampung, di Lampung kegiatan repopulasi cukup signifikan dari awalnya peternak rakyat menjadi peternak skala menengah, bahkan skala besar. Lalu, dari segi genetik pun diperbaiki karena ada permintaan dari pasar terhadap babi yang berkualitas. “Selain itu, mereka pun sudah mulai membangun kendang lebih besar serta  juga mendatangkan genetik – genetik ternak yang baru terutama peternak besar di wilayah Lampung Timur,” ungkap pria yang akrab disapa Sugi.

 

Peternak Baru

Darmawan Mulyadi peternak babi di Kabupaten Magetan, Jawa Timur menuturkan kondisi peternak babi setelah gempuran ASF, seperti di daerah Jawa Tengah, Jawa Timur, Sumatra Utara, Kalimantan dan daerah Indonesia timur bagi pemain lama semangatnya agak berkurang. Karena mereka melihat berkali – kali terkena ASF, tanpa ada vaksin yang cukup efektif untuk mencegahnya. Namun, berbanding terbalik banyak investor dan pemain baru yang mulai terjun cukup semangat, disebabkan suplai babi yang berkurang sedangkan demand cukup baik.

 

”Hanya memang untuk pemain baru harus dibimbing agar tidak hanya memikirkan produksi tanpa memikirkan hal – hal lain. Misalnya jangan hanya memikirkan produksi, yang suatu saat nanti bisa terjadi over supply dan dampaknya kurang baik terhadap bisnis babi tanah air,” sebutnya.

 

Di Sumatera Utara, seperti diutarakan Frans, banyak para investor-investor baru sudah bangun kandang. Populasi babi di Sumatera Utara memang dari 2024 sudah mulai bertumbuh kembali. Memang dari titik awalnya di populasi dari 600 ekor, kemudian turun menjadi 20 ekor indukan, tapi sekarang sudah ada yang ke posisi 120 ekor indukan. “Banyak pemain baru yang terjun, sedangkan pemain lama sudah tergusur karena pada trauma. Dimulai pada angka 500 ekor dengan Indukannya di angka 60-70 ekor. Itu rata-rata menengah, kalau menengah ke atas termasuk PT dan CV. PT itu jumlah induk mencapai 200 ekor dengan total populasinya bisa di angka 1.200 – 1.500 ekor. Sedangkan peternak babi menengah ke bawah paling hanya 10 induk dengan 100 ekor populasi,” terangnya.

 

Sementara Alexander melihat semangat bagi peternak atau investor baru untuk terjun beternak babi, karena memang selain harga yang cenderung baik. Mungkin mereka melihat, selisih margin beternak babi lebih baik dibandingkan memelihara ternak lain. Selain itu, peternak baru yang menggeliat untuk menambah populasi karena melihat harga babi tinggi dan permintaan meningkat. “Itu merupakan hal yang wajar, karena stok terbatas dan beberapa Hari Besar Keagamaan Nasional (HBKN) yang memerlukan daging babi cukup banyak,” jelasnya.

 

Dampak Repopulasi

Rofii, Ketua Kelompok Substansi Unggas dan Aneka Ternak, Direktorat Perbibitan dan Produksi Ternak, Direktorat Jenderal Peternakan dan Kesehatan Hewan (Ditjen PKH) Kementan mengatakan bahwa ada dampak sosial dan ekonomi dari repopulasi babi bagi peternak kecil, disebabkan babi mempunyai nilai budaya dan ekonomi yang penting. Yaitu, merupakan sarana penting dalam adat istiadat seperti mas kawin, alat denda dalam pelanggaran hukum informal dan lain-lain. Pada berbagai upacara/pesta adat baik bersifat keluarga ataupun masyarakat desa, ketersediaan masakan daging babi merupakan tambahan nilai sosiologis dalam masyarakat.

 

Selain digunakan dalam berbagai acara adat, ternak babi juga digunakan sebagai tabungan keluarga oleh para peternak sehingga dengan adanya repopulasi ternak babi pasca ASF sangat membantu memulihkan perekonomian masyarakat. Pengembangan usaha ternak babi merupakan salah satu cara efisien untuk menjadi sumber pendapatan petani/peternak karena mudahnya proses produksi dan luasnya pemasaran, di samping babi merupakan sarana penting dalam adat istiadat masyarakat setempat.

 

Regulasi pemerintah mendukung repopulasi babi di Indonesia diantaranya, Peraturan Menteri Pertanian Nomor 51/Permentan/OT.140/9/2011 tentang Rekomendasi Persetujuan Pemasukan dan Pengeluaran Benih dan/atau Bibit Ternak ke dalam dan ke luar Wilayah Negara Republik Indonesia. Lalu, Peraturan Menteri Pertanian Republik Indonesia Nomor 19/Permentan/OT.140/3/2012 tentang Persyaratan Mutu Benih, Bibit Ternak, dan Sumber Daya Genetik Hewan. Kemudian Keputusan Menteri Pertanian Nomor 423/Kpts/OT.210/7/2001 tentang Pedoman Budidaya Ternak Babi yang Baik (Good Farming Practice) serta Standard Operating Procedure (SOP) Restocking ternak babi.

 

Darmawan menambahkan, kalau repopulasi peternak kecil berhasil maka akan mengangkat perekenomian masyarakat setempat, seperti yang terjadi di daerah Bali. “Sebenarnya kita bersaing dengan negara tetangga, dan dulu kita bisa swasembada babi tapi sekarang malah impor dari luar,” keluhnya.

 

Peningkatan Kualitas Genetik

Tentunya dengan populasi yang berkurang, kualitas genetik pun mengalami penurunan di lapangan. Apalagi, ada beberapa daerah melalui peraturan daerahnya yang masih melarang pemasukan bibit ternak dari daerah lain. “Maka itu, perlu peningkatan genetik ternak babi di dalam negeri ini karena manfaatnya cukup banyak. Contohnya di ternak lain pun seperti sapi dan domba sudah dilakukan di tanah air, sehingga kualitas ternaknya pun di peternak meningkat,” ujar Alexander.

 

Lanjutnya, Indonesia dari sisi genetik memang cukup tertinggal jauh dibandingkan negara – negara lain. Misalnya dengan Malaysia yang genetik ternak babinya lebih baik dibandingkan Indonesia. Padahal diketahui genetik merupakan salah satu komponen utama dalam keberhasilan beternak, selain nutrisi pakan yang sesuai dengan kebutuhan ternak. Maka itu, peningkatan kualitas genetik dari luar sebaiknya masuk, hanya memang perlu perhatian pemerintah. “Distribusi semen atau ternak hidupnya dari balai milik pemerintah seperti Unit Pelaksana Teknis Balai Inseminasi Buatan Daerah Baturiti (UPT. BIBD Baturiti), karena harganya cukup tinggi kalau langsung dari luar. Bagi peternak babi yang masih terdampak ASF cukup berat,” jelasnya.

 

Idealnya, diutarakan Alexander dua sampai 3 tahun sekali masuk darah baru untuk peningkatan genetik. “Sekarang terjadi, membeli indukan atau pejantan dari farm A atau B ternyata dia pernah ambil dari farm kita juga. Akhirnya malah terjadi perputaran genetik saja,” kisahnya.

 

Sementara genetik, diibaratkan Darmawan merupakan sebuah pondasi dalam suatu bangunan. Memang tidak terlihat, membutuhkan investasi yang tidak sedikit dan waktu cukup lama membentuknya. Tetapi, hal tersebut yang menentukan kualitas bangunan di atasnya. “Kalau setting genetik salah dari awal akan merusak seluruh tatanan di farm itu. Dengan setting genetik yang merupakan suatu blue print akan menentukan arah kita menjadi peternak babi di breeder atau peternak babi komersial,” ungkapnya.

 

Kondisi umum genetik babi di tanah air, menurut Ketua Asosiasi Peternak Babi Jawa Timur ini, sebelum adanya wabah ASF umumnya peternak babi di Indonesia menggunakan bibit genetik dari Amerika. Bahkan, beberapa peternak sudah mengimpor semen bekunya dari Amerika untuk memperbaiki genetik babi di Indonesia. “Pasca wabah ASF, banyak peternak besar tumbang sehingga kualitas genetik ternak babi pun menurun. Karena, banyak yang menggunakan babi seharusnya dipotong tetapi dijadikan indukan. Oleh karena itu, produktivitasnya menurun jauh dan ditambah wabah PMK (Penyakit Mulut dan Kuku) maka tambah buruk kualitas genetik di peternak,” paparnya.

 

Perlu diketahui, memang semua jenis babi bisa dipotong hanya yang membedakan babi potong dan indukan terlihat dari kualitas dan jumlah anak serta sifat keibuannya. Untuk pejantan, dapat dilihat dari pertumbuhan berat badan dan kualitas daging yang baik. “Dari jantan dan betina itu harus pintar memilih mana yang baik untuk indukan mana yang baik untuk pejantan, lalu kita silangkan,” sebutnya.

 

Di Indonesia sendiri, jenis babi yang banyak dikembangbiakkan diantaranya, yorkshire, duroc, landrace dan hampshire. Setiap jenis babi mempunyai kelemahan dan keunggulan masing masing. “Hanya umumnya landrace disilangkan dengan yorkshire untuk indukan. Sedangkan duroc untuk pejantan potong. Selain itu, bisa juga antara duroc dan hampshire disilangkan untuk pejantan potong. Saat ini, saya sedang mencari negara mana yang paling maju di industri babi dan ternak babinya dapat dikembangkan di tanah air,” paparnya.

 

Diakui oleh Jose Manuel O.A, Sarmento Kepala Balai UPTD Balai Inseminasi Buatan Daerah, Perbibitan Ternak, Dan Hijauan Pakan Ternak (UPTD. BIBDPTHPT), Baturiti, Kabupaten Tabanan, Bali.

 

“Kualitas bibit ternak babi yang ada di balai mengalami penurunan. Mungkin terakhir impor Grand Parent Stock (GPS) babi dari Australia pada 2002. Walaupun setiap hari masih dapat menghasilkan 100 semen cair yang dikirim ke daerah Papua, Medan, NTT sampai Sulawesi utara,” ungkapnya dalam acara beberapa waktu lalu di Bali.

 

Senada dengan Jose, Kepala Bidang Peternakan dan Kesehatan Hewan Provinsi Bali, Nurul Hadiristiyantri mengemukakan bahwa saat ini peternak babi di Bali sedang mengalami permasalahan genetik babi yang menurun. Salah satunya, akibat adanya Peraturan Gubernur Bali Nomor 33 Tahun 2005 tentang Penutupan Sementara Pemasukan Ternak Babi Dan Produknya Dari Luar Pulau Bali. “Kita akan mengubah Pergub tersebut dan diharapkan akhir tahun sudah rampung,” imbuhnya.

 

Selengkapnya Baca di Majalah TROBOS Livestock edisi 302/ November 2024

 
Livestock Update + Moment Update + Cetak Update +

Artikel Lain