Klasterisasi Domba dan Kambing

Klasterisasi Domba dan Kambing

Foto: ramdan


Mengintegrasikan bisnis dari hulu ke hilir dengan cara menghimpun dan memberdayakan peternak untuk menjalankan produksi dengan baik serta memudahkan akses pasar agar usaha lebih efisien dan berdaya saing

 

 

USAHA PETERNAKAN domba dan kambing di tanah air semakin bergairah seiring dengan meningkatnya permintaan masyarakat. Perhatian khusus Presiden Joko Widodo (Jokowi) akan komoditas ini menarik minat sebagian masyarakat untuk berusaha di bidang ini.

 

Bagi Ketua Umum HPDKI (Himpunan Peternak Domba Kambing Indonesia), Yudi Guntara Noor, usaha peternakan domba dan kambing harus berdaya saing dan memiliki keunggulan yang kompetitif dan komparatif. Usaha yang dijalankan peternak harus terintegrasi dari hulu ke hilir sehingga lebih produktif dan efisien. “Melalui klasterisasi usaha domba dan kambing yang kami lakukan menjadi salah satu upaya dalam mencapai daya saing,” ujarnya kepada TROBOS Livestock.

 

Ia mengatakan, kondisi saat ini peternak domba dan kambing menyebar di mana-mana sehingga tidak berdaya saing dan tidak berbasis agribisnis. Imbasnya, tidak ada konektivitas antara pasokan dari peternak dengan permintaan pasar. “Klasterisasi domba dan kambing ini merupakan pola integrasi antara hulu dengan hilir dengan tidak meninggalkan ekonomi kerakyatan di daerah setempat. Klasterisasi sebagai cara untuk menghimpun potensi peternak menjadi suatu kesatuan layaknya industri namun berbasis peternak pedesaan sehingga peternak lebih efisien, berdaya saing, menerapkan teknologi budidaya, manajemen pakan, dan pasar,” paparnya.

 

Berdasarkan catatan HPDKI, klaster domba dan kambing ini muncul di berbagai daerah di Jawa Timur, Yogyakarta, dan Jawa Tengah. Untuk Jawa Barat sedang dikembangkan. “Hampir setiap DPD HPDKI di Pulau Jawa klasterisasi ini sudah berjalan baik domba dan kambing khususnya untuk memenuhi permintaan untuk pedaging,” ungkap Yudi.

 

Ketua DPD HPDKI Jawa Tengah, Akbar Mahalli berpendapat, klasterisasi domba dan kambing adalah salah satu upaya dalam memberdayakan masyarakat. Peternak bisa belajar bersama dalam mempraktikkan cara beternak yang baik dan benar. Juga memberi nilai tambah perekonomian peternak dengan cara adanya jaminan pasar yang sudah di bentuk. “Beternak tidak lagi semacam kegiatan berjudi yang penuh ketidakpastian tetapi dengan beternak domba dan kambing bisa menjadi sumber penghidupan dan harapan bagi keluarga peternak,” ujarnya.

 

Sementara menurut Arief Hidayat, peternak sekaligus pengepul domba dan kambing asal Singosari, Malang Jawa Timur, klasterisasi sebagai cara untuk menyamakan persepsi dan tingkat keragaman pengetahuan ditingkat peternak. “Melalui klaster peternak berkumpul saling berbagi informasi dan pengetahuan tentang manajemen pemeliharaan, pemasaran, bahkan permodalan. Biasanya permodalan merupakan permasalahan utama dan dengan klaster bisa menjadi salah satu solusinya.”

 

 

Klaster Pembibitan dan Penggemukan

Dalam sistem klaster, umumnya ada pra koperasi, patungan, dan simpan pinjam. Kalau sudah terbentuk dan berjalan dengan baik, langkah selanjutnya yaitu membuat izin pendirian koperasi yang berbadan hukum agar bisa menggaet modal lebih besar dari dana PKBL (Program Kemitraan dan Bina Lingkungan) dan perbankan. “Untuk pengawasnya kita beri saja kepercayaan ke masyarakat itu sendiri,” tegas Arief.

 

Berawal dari kerjasama dengan sebuah perusahaan BUMN untuk pembiayaannya, Arief telah menjalankan program klasterisasi domba dan kambing sejak 6 tahun lalu. Saat ini usaha domba dan kambing sudah dijalankan secara mandiri oleh peternak anggota klaster dan tidak mengandalkan pembiayaan dari BUMN. Terdapat tiga lokasi klaster yaitu di Malang dan Bojonegoro (2 kecamatan) untuk breeding dan penggemukan. Adapun total populasi saat ini sekitar 5.500 ekor dengan jenis kambing jawa randu, domba ekor tipis dan gemuk, serta persilangan merino.

 

Ia menekankan, untuk menjalankan usaha breeding (pembibitan) harus model klaster karena membutuhkan modal yang besar. Sedangkan usaha penggemukan untuk mensuplai domba dan kambing siap potong dengan berat di kisaran 25-30 kg per ekor atau sesuai permintaan pasar. Pembinaan yang dilakukan kepada anggota klaster berjumlah 15 kelompok dan setiap kelompok mempunyai anggota 30 peternak dengan populasi sekitar 5 – 20 ekor per peternak ini meliputi manajemen pemeliharaan, pemasaran, dan penyediaan pakan.

 

Namun sejak sekitar 4 tahun lalu, Arief sudah tidak membina lagi para peternak tetapi tetap merasakan manfaat keberadaan klaster ini dengan menjadikan peternak sebagai pemasok domba siap potong untuknya. Setiap bulan sekitar1.000 ekor domba siap potong dikirim ke wilayah Jabodetabek(Jakarta Bogor Depok Tangerang Bekasi). “Saya mengambil domba dari peternakdengan alasan harganya lebih murah, tetapi bagi mereka lebih tinggi dibandingkan menjual kepada pengepul lain.Alasannya, saya langsung menjual kepada konsumensehingga rantai tata niaganya lebih pendek.”

 

Sementara itu, PT Agro Investama yang berlokasi di Garut Jawa Barat juga sedang mengembangkan konsep klaster penggemukan. Perusahaaninimensuplai domba bakalan, obat – obatan,dan pakankepada peternak mitra. Bakalan domba yang disuplai umur 10 bulan danakan digemukkan selama sekitar 3 bulanyang hasil produksinya akann dibeli lagi oleh perusahaan.

 

Dikatakan Manajer Feedlot PT Agro Investama, Supriatna, saat inikonsep klastersudah berjalan dengan peternak Sukabumi dengan populasi domba sebanyak 200 ekor. Dalam waktu dekat pengembangan klaster akan dilakukan dengan Himpunan Pengusaha Santri Indonesia (HIPSI) di wilayah Purwakarta, Karawang, Subang, Tasikmalaya,dan Ciamis. “Setiap kelompok populasidombanya sebanyak 200 ekor dengan anggota 8 peternak. Dari jumlah populasi itusetiap peternak bisa mengakses program KUR (Kredit Usaha Rakyat) sebesar Rp 25 juta. Kita sebagai penjaminnya. Untuk panennyadi setiap wilayah di rotasi sehingga tidak bersamaan,” jabarnya.

 

Direktur PT Agro Investama, Asep Barlimenjelaskan, ada dua konsep yang dilakukan perusahaannyayaitu pembibitan domba garut dan penggemukan domba ekor gemuk. Sementara ini untuk bibit domba garut yang dijual hanya pejantandan yang betinamasih untuk kebutuhan replacement stock(stok pengganti). Sedangkan bakalandombauntuk penggemukan disuplai dari daerah Jawa Timur.

 

Barli berkilah, alasan perusahaan terjun ke bisnis domba ini karena prospeknya masih sangat  cerah. Permintaan pasar daging domba di Bandung saja mencapai 1.500 ekor per bulanyang didukung adanya sumber bakalan domba cukup melimpah di daerah Jawa Tengah dan Jawa Timurseperti dari Jombang, Malang, Lamongan,dan Jember.

 

Khusus di peternakannyayang memiliki kapasitas kandang dapat menampung sekitar 5.000 ekor, lanjut Barli, saat ini terdapat populasi domba sekitar 2.650 ekor terdiri atas 1.000 ekor jantan siap potong dan sisanya 1.650 ekor yang terdiri dari betina penggemukan, pejantan unggul, betina domba garut,serta anakan.“Ke depan, kami juga akan mengembangkan klaster pembibitan agar hasil domba bakalan seragam, sehingga pertumbuhan berat badannya seragam juga.”

 

 

Klaster Pembibitan Kambing Perah

Cerita berbeda dialami Puthut Dwi Prasetyo dan 25 peternak lainnyadi Desa Tayem Timur, Kecamatan Karang Pucung, Kabupaten Cilacap Jawa Tengah saat memulai klasterisasi di komoditas kambing perah. Mereka melihat peluang pasar di kambing perah, bahwa peternak lambat dalam melakukan penggantianindukannya. Belum lagi, ada indukan yang mempunyai litter size (jumlah anakan) rendah, bahkan per tahun belum tentu beranak.

 

Para peternak lalu bergabung dalam 8 kelompok bernama Akar Rumput dan berdiri sejak 2010. Mulai11 tahun lalu, merekamengembangbiakkan kambing dengan mengawinkan kambing lokal yang ada di daerah sekitar yaitu kambing jawa randu.Kegiatan yang dilakukan punmurni swadaya. Kalaupun ada bantuan pemerintah, hanya terkait pelatihan.

 

Seiring waktu berjalan, peternak Akar Rumput ini menggunakan kambing peranakan etawa (PE)sebagai indukannya karena susunya sekaligus dapat dimanfaatkan. “Kami tertarik terhadap hasil susukambing PEdan ketika dipasarkan respon pasar sangat baik. Hal ini menarik minat masyarakat lebih banyak lagiuntuk beternak kambing PE,” ungkap Puthut.

 

Sejak 8 tahun terakhir, Kelompok Akar Rumput ini mulai mengganti rasindukannyadengan mengawinkan kambing betina lokal (hasil persilangan jawa randu dan PE) dengan jantan saanenyang diberi nama kambing sapera yang digunakan hingga saat ini. “Justrukami mendapatkan pasar cenderung dari ternaknya, bukan dari produksi susunyasehingga sejak saatitu mulai fokus dalam mengembangbiakkan kambing sapera ini,” tegasnya.

 

Dalam pengembangbiakkan kambing saperadi klaster ini setiap peternak memiliki indukan betina sendiri dan kelompok berperan dalam manajemen kawin saja.Apabila kambing sapera betina ingin menjadi induk unggul akan diseleksi terlebih dahulu di kelompok. Jika layak, akan menjadi induk unggul dan keturunan betinanya boleh dijual, tetapi jika kondisi sebaliknya indukan disarankan untuk dijual atau diganti.

 

Calon indukankambing saperadisebut layak jika lolos dalam beberapa kriteria seleksiyaitu setelah di uji litter size harus di angka 1,2serta dengan melihat anaknya yang lahir dengan berbagai fenotifnya dan tidak cacat. Selain itu, seleksi dilakukan pada kambing pejantan persilangan saanen milik peternak di daerahlain yangmempunyai standar tertentu agar hasilnya lebih baik.

 

Dalam manajemen pemasaran di klaster ini pun digarap bersama. Cempe (anak kambing) umur 4 bulan atau lepas sapih baik jantan maupun betina akan dikumpulkan.Kambing jantan langsung dipasarkan sebagai bakalan pedagingatau untuk akikah dan kurban. Untukkambingbetina diberikan perlakukan pemberian pakan yang standar selama satu bulan terlebih dahulu sebelum dijual, sehingga nantinya kambing akan mudah beradaptasi. Adapun pangsa pasar cempe dari komunitas Akar Rumput ini adalah peternak kambing perah di wilayah Yogyakarta, Jawa Timur,dan Bogor. Harga cempe betina dijual di kisaranRp 1,5 – 2 juta per ekor dan jantan di kisaran Rp 600 – 700 ribu per ekor.

 

Komunitas Akar Rumput yangkiniberjumlah sekitar 86 peternakini bisa memproduksi sekitar 50-60 ekor cempe per bulan dengan rasiobetina dan jantan sebesar 50 % : 50 %. Saat ini populasi indukan dalam komunitas Akar Rumput ini berjumlah sekitar 460 ekor betina dan 11 ekor pejantan. Khususuntukindukan pejantan tersebar di anggota yang berada di 4 kecamatan yaituMajenang, Karang Puncung, Gandrung,dan Cimanggu.

 

 

Klaster dari Hulu keHilir

Alasan geografis yang tidak terlalu luas mengarahkan para peternak domba dan kambing di wilayah Yogyakarta untuk mengembangkan klasterisasi yang sudah berjalan dari hulu ke hilir. “Sebenarnya klasterisasi ini sudah berjalan sendirinyabahkan kami awalnya tidak berpikir klastertetapi hanya ingin bagaimana peternak di Yogyakarta bisa sejahtera,”ungkap Ketua PPKDY (Perserikatan Peternak Kambing Domba Yogyakarta),Aprila Respati Adi.

 

 

Selengkapnya baca di majalah TROBOS Livestock Edisi 216/September 2017

 
Livestock Update + Moment Update + Cetak Update +

Artikel Lain