Foto: yopi
Potret industri peternakan modern yang intensif, guna mencukupi protein hewani dalam negeri
Sub sektor ini optimis tetap tumbuh dan menjanjikan ke depan, namun harus didukung oleh regulasi yang tepat serta semua pihak harus bekerja keras untuk keluar dari persoalan yang ada
Beragam batu sandungan dan jatuh-bangun dalam berbagai bisnis pada sub sektor peternakan di Indonesia, tidak lantas membuat para penggiatnya menyerah dengan keadaan begitu saja. Para pelaku usaha seperti peternak yang melakukan beragam inovasi guna mendongkrak kembali kondisi usaha peternakannya agar lebih baik, sampai saat ini dengan susah payah masih bisa bertahan walaupun tengah mengalami himpitan pandemi Covid-19 (Corona Virus Disease 2019). Virus yang tidak pandang bulu siapa korbannya ini berdampak besar terhadap semua lini, termasuk di sub sektor peternakan.
Selain akibat pandemi Covid-19, industri peternakan menghadapi berbagai persoalan berulang dan belum menemukan solusi yang tepat dan komprehensif sehingga para pelaku usaha terbebani bahkan terseok-seok dalam menjalankan usahanya. Seperti pengalaman yang dirasakan oleh Sekretaris Jenderal GOPAN (Gabungan Organisasi Peternak Ayam Nasional), Sugeng Wahyudi bahwa usaha ayam pedaging (broiler) sampai dengan Agustus belum begitu menggembirakan.
“Kondisi peternakan broiler hingga saat ini harganya masih fluktuatif dan bisa dikatakan rugi karena memang over supply (kelebihan pasokan). Di samping itu daya beli sedang turun akibat pandemi Covid-19 sehingga dari Januari sampai dengan Agustus naik-turunnya harga ayam dan sarana produksi ini sangat kentara,” keluh Sugeng kepada TROBOS Livestock.
Atas masalah tersebut menyebabkan keuntungan dari beternak broiler belum bisa dinikmati peternak. Artinya, semua pihak harus bekerja keras untuk keluar dari masalah ini. Terkait dengan pasokan (supply) dan permintaan (demand), sudah barang tentu ini ada untung dan ruginya, tetapi peternak menginginkan adanya kepastian hasil yang lebih baik. Sebab, dengan pasokan ayam yang berlebih, sedangkan permintaan sedikit menyebabkan harga jual ayam hidup (live bird) turun.
Demikian pula sebaliknya, Sugeng menyebutkan jika pasokan ayam sedikit tetapi permintaannya banyak, maka peternak akan bisa untung. “Di satu sisi, sarana produksinya, seperti DOC (ayam umur sehari) akan mengalami peningkatan jumlahnya, namun pada saat sarana produksi DOC turun jumlahnya seperti beberapa waktu lalu, harga DOC-nya tetap mahal. Sehingga terkadang tidak ada keterkaitan, artinya pada saat harga ayam rendah tetapi DOC tetap saja tinggi,” protesnya.
Sugeng pun mengimbau bagi semua pihak untuk bekerja secara bersama-sama, supaya dapat keluar dari masalah ini. Karena, Ia menilai masalah ini rumit dan diperburuk lagi oleh pandemi Covid-19 yang menyebabkan semua lini terkena imbasnya, termasuk usaha peternakan ayam pedaging.
Kelanjutan Bisnis Peternakan
Perkembangan dan pertumbuhan bisnis dalam industri peternakan di tengah pandemi Covid-19 memang dirasa sulit, tetapi masih ada peluang untuk terus tumbuh meskipun kondisi tidak mendukung. Ketua Umum Asosiasi Obat Hewan Indonesia (Asohi), Irawati Fari mengatakan industri obat hewan dalam negeri secara umum tumbuh. Sebab, obat hewan akan mengikuti perkembangan dari industri peternakan dan selama industrinya tumbuh, otomatis industri obat hewan pun ikut tumbuh.
“Banyak peluang yang masih bisa dilakukan di industri obat hewan ini, karena konsumsi protein hewani per kapita di Indonesia saja masih rendah. Sehingga, kesempatan untuk industri peternakan berkembang masih tinggi, demikian juga dengan obat hewan sehingga baik bisnis peternakan maupun obat hewan masih bisa ditingkatkan lagi,” jelas perempuan yang akrab disapa Ira ini.
Beberapa kategori bisnis obat hewan yang disebutkan Ira diantaranya feed additive (imbuhan pakan), pharmaceutical (farmasi), dan biological (biologis) seperti vaksin, serta herbal. Ira menuturkan bahwa kontribusi terbesar obat hewan secara berturut-turut adalah feed additive, biological, pharmaceutical, dan herbal. Feed additive sendiri mayoritas untuk unggas dan Ira pun mengaku obat hewan kurang lebih 80 % didominasi untuk unggas.
Seiring berjalannya waktu, perkembangan penyakit pun turut meningkat, sehingga kebutuhan akan obat-obatan hewan pun pasti akan dibutuhkan. “Tidak hanya penyakit, sekarang pun peternak sudah memiliki beberapa program pencegahan, seperti pemberian vaksin. Biosekuriti menggunakan desinfektan pun sekarang menjadi salah satu program utama di suatu peternakan karena adanya larangan penggunaan Antibiotic Growth Promotor (AGP), sehingga direkomendasikan untuk meningkatkan manajemen kandang dengan melakukan biosekuriti,” papar Ira.
Sementara itu, Ketua Umum Gabungan Perusahaan Makanan Ternak (GPMT), Desianto Budi Utomo menerangkan, 90 % dari pakan yang dihasilkan oleh seluruh anggota GPMT yaitu untuk ayam, baik petelur (layer) maupun pedaging. Akibat permintaan untuk ayam selama masa pandemi Covid-19 menurun, maka permintaan pakan pun turun. Jika permintaan pakan turun, maka permintaan bahan pakan pun ikut turun, termasuk di dalamnya adalah jagung yang menyebabkan rata-rata serapan jagung secara nasional di beberapa daerah turun sekitar 25 – 30 %.
“GPMT memiliki idle capacity (kapasitas yang tidak terpakai) sekitar 25 %, artinya kalau dilihat pada produksi atau konsumsi pakan pada 2019, yaitu total sekitar 20 juta ton termasuk konsentrat ayam. Kapasitas GPMT sendiri sudah mencapai 27,5 juta ton, artinya ada lebih dari 25 % idle capacity. Sehingga kapasitas untuk memproduksi pakan jauh lebih besar dari pada konsumsi atau pun yang diproduksi oleh anggota GPMT saat ini,” terang Desianto.
Secara teknis, Desianto melanjutkan, GPMT memiliki kemampuan yang lebih apabila ada lonjakan permintaan, dengan idle capacity yang menunggu dan siap untuk diproduksi jika ada permintaan yang melonjak. “Karena 90 % pakan didominasi untuk ayam, maka mati-hidupnya pabrik pakan sangat bergantung dari industri perunggasan,” tegasnya.
Kemudian untuk usaha sapi potong, diakui Ketua Dewan Gabungan Pelaku Usaha Peternakan Sapi Potong Indonesia (Gapuspindo), Didiek Purwanto pada tahun ini mengalami hal yang sama dengan industri peternakan lainnya. “Memang kondisi saat ini sedang tidak mudah, tetapi yang luar biasa pada 2020 dibandingkan tahun lalu adalah pada saat Lebaran kemarin dan masih dalam kondisi pandemi Covid-19 namun harga daging sapi bisa stabil dan tidak berbeda dengan harga di 2019 lalu,” ungkapnya.
Didiek mengungkapkan, 1 bulan sebelum Lebaran, Kementerian Perdagangan melalui Direktorat Jenderal Perdagangan Dalam Negeri merilis data pada April lalu, yaitu stok daging secara nasional sekitar 36.000 ton. Dari 36.000 ton daging tersebut, yang istimewa adalah 30.000 ton berasal dari Gapuspindo. Kemudian 3.800 ton lainnya dari Asosiasi Pengusaha Importir Daging Indonesia (Aspidi) dan 2.200 ton lainnya dari selain Aspidi, sedangkan dari Bulog hanya 106,78 ton.
Dari data di atas dapat dikatakan 80 % stok daging sapi saat menjelang Lebaran dapat terpenuhi, berarti daging kerbau dari India dapat dikatakan tidak ada. “Memang pada kondisi pandemi diharapkan harga daging sapi saat Lebaran tidak naik, karena sudah ada pandemi, harga bahan pokok naik, dan banyak yang sakit, sehingga akan menambah masalah. Pemerintah pun saat itu diharapkan dapat membantu mengeluarkan stok-stok daging supaya kestabilan harga bisa terjaga, dan itu terbukti, harga daging berkisar Rp 120.000 per kg,” urai Didiek.
Jika dibandingkan dengan 2019, harga daging tidak jauh berbeda, ini menunjukkan bahwa tanpa daging India pun sebetulnya harga daging dapat ditekan supaya stabil. Dalam hal ini, Gapuspindo turut mendukung pemerintah, karena Indonesia dalam kondisi tengah membutuhkan bantuan dalam menstabilkan harga. Didiek pun menginstruksikan kepada anggota Gapuspindo untuk membantu, berapa pun yang ada di kandang, jika sudah memungkinkan untuk dipotong bisa keluarkan, supaya harga daging sapi saat Lebaran bisa stabil.
Berbeda dengan komoditas lainnya, justru ayam lokal mengalami pertumbuhan di tengah bencana non alam, pandemi Covid-19. Berdasarkan pernyataan Ketua Himpunan Peternak Unggas Lokal Indonesia (Himpuli), Ade M Zulkarnain yakni kondisi usaha ayam lokal sedang menggeliat. Contohnya, semakin banyak orang yang membuka usaha peternakan ayam kampung, kemudian alternatif yang mereka lakukan dengan beternak ayam joper.
“Satu indikasi bahwa kondisi saat ini usaha ayam kampung cukup prospektif. Bermunculan juga usaha-usaha pembibitan ayam kampung, bukan hanya di sekitar Jawa Barat tetapi juga ke luar Pulau Jawa. Kemudian juga munculnya minat baru peternak broiler untuk menambah usahanya dengan beternak ayam kampung,” jelas Ade.
Menurutnya, banyak peternak mandiri broiler yang melirik bahkan telah merealisasikan beternak ayam kampung. Ini adalah suatu kondisi yang sangat menggembirakan. Apalagi saat terjadi gejolak harga di produk ayam jenis lainnya, tetapi ayam kampung justru harganya sudah beberapa bulan ini meningkat begitu pula dengan permintaannya, dengan rincian sebelum pandemi Covid-19 harga ayam kampung masih di kisaran Rp 36.000 – 38.000 per kg, sedangkan setelah ada Covid-19 sampai sekarang harganya sekitar Rp 48.000 – 50.000 per kg on farm.
Permintaan yang membludak juga dirasakan Ade, namun sayangnya belum dapat dipenuhi seluruhnya. “Usaha di hilir produk ayam kampung pun banyak bermunculan, baik itu dalam bentuk karkas, berbumbu dan yang sudah bersertifikasi maupun yang belum. Pola pemasarannya cukup inovatif, yaitu dengan membangun outlet, gerai atau reseller serta secara daring,” ungkapnya.
Ini adalah kabar baik bagi masyarakat Indonesia. Ade memperkirakan dalam kurun waktu 1-2 tahun lagi, akan bermunculan usaha peternakan ayam kampung dengan skala yang cukup besar. Ini merupakan harapan untuk menuju tuan rumah di negeri sendiri dan dari sekarang pun sudah mulai terlihat bibitnya.
Kendala Terkini
Kendati beberapa komoditas peternakan mengalami pertumbuhan, namun diantaranya pasti tidak lepas dari kendala yang menerpa. Sebagaimana yang diutarakan Ketua Umum Gabungan Perusahaan Pembibitan Unggas (GPPU), Achmad Dawami yaitu dengan adanya pandemi Covid-19, jelas orang akan takut dan cemas. Kemudian menjadi panik dari segala lini, selepas panik mulai dilema memikirkan kelanjutan usahanya. Masa panik kemarin itu, jelas membawa dampak yang sangat signifikan terhadap hampir semua bisnis termasuk bisnis ayam.
“Bisnis yang mungkin tidak begitu terdampak, tentunya adalah bisnis yang menyangkut bidang kesehatan dan informasi, karena manusia ingin selalu sehat. Akan tetapi di bisnis ayam, dengan tutupnya hotel, restoran, kafe, pasar dan ditiadakannya berbagai seminar secara langsung, jelas mengacaukan produk akhir (final product) ayam, terutama broiler. Sebab bisnis pembibitan sangat berkaitan dengan permintaan ayam hidupnya atau final product dari ayam,” jabar pria yang kerap disapa Dawami ini.
Fakta tersebut berdampak pada pengurangan permintaan DOC secara mendadak, sehingga membuat para pelaku usaha broiler panik. Setelah harga live bird hancur, efeknya kepada penurunan permintaan DOC. Sedangkan DOC dicetak oleh pemiliki parent stock farm yang didesain sekitar 7-8 bulan sebelum anak ayam itu muncul. Jika DOC sudah diproduksi, maka tidak bisa diberhentikan begitu saja karena menyangkut soal biaya.
Berakar dari masalah-masalah tersebut, alhasil terjadi pengurangan DOC. “Pada awal masuknya pandemi Covid-19 ke Indonesia, pemerintah secara langsung mengumumkan bahwa tidak ada kebijakan untuk pemangkasan (cutting) yang dikendalikan oleh pemerintah sendiri. Lantaran informasinya belum begitu lengkap atau belum begitu sempurna, secara otomatis semua breeding farm meraba-raba sendiri, seperti ada yang mengurangi dan menunda produksi, mungkin juga ada berproduksi seperti biasa,” urainya.
Terbukti, setelah pandemi terus bergulir, bukannya penjualan semakin bagus tetapi justru semakin terpuruk. Sehingga saran yang diberikan Dawami adalah bagaimana mengatur keseimbangan antara permintaan dengan pasokan yang ada. Menurutnya, itu adalah langkah yang patut dipikirkan oleh pemerintah untuk mengaturnya.
Beralih ke kondisi bisnis komoditas sapi perah, berdasarkan pengakuan dari Ketua Asosiasi Peternak Sapi Perah Indonesia (APSPI), Agus Warsito bahwa kini anggota-anggotanya berkembang tetapi belum bisa seperti yang diharapkan. “Di dalam kondisi pandemi seperti ini nampaknya susu menjadi salah satu pilihan atau alternatif, guna meningkatkan imunitas bagi ketahanan tubuh manusia. Sehingga konsumsi susu meningkat, namun tidak berimbas signifikan kepada harga susu segar per liternya di tingkat peternak,” keluhnya.
Ini sungguh ironi, sementara peternak sapi perah ingin harga susu segar dinaikkan, supaya dapat bergairah kembali. Agus berkeluh kesah jika harga susu segar di tingkat peternak mikro masih sangat variatif yaitu Rp 5.000 – 5.500 per liter. Bahkan diakui Agus, baik sebelum maupun setelah pandemi Covid-19 merebak di Indonesia, harga susu sama sekali tidak ada perubahan.
“Kendala yang sangat riil dirasakan adalah pelaku persusuan merasakan betul ketidakhadiran pemerintah. Sehingga, terkait dengan harga susu segar masih belum sesuai dengan harapan peternak, sebab harga tersebut sangat kontras dengan harga pakannya. Terlebih saat ini permintaan susu dapat dikatakan relatif tinggi, namun mengapa justru banyak Industri Pengolahan Susu (IPS) lebih mengutamakan susu impor dari pada Susu Segar Dalam Negeri (SSDN)?,” tanyanya retoris.
Agus merasa, IPS secara tiba-tiba melakukan aksi pembatasan kuota atau kuotanisasi SSDN. Sementara, peternak tahu bahwa di masa pandemi ini, justru konsumsi susu bisa dikatakan meningkat walaupun tidak signifikan. Namun sayangnya, keberpihakan kepada SSDN nampaknya tidak begitu maksimal.
Adapun kebijakan IPS yang dirasa Agus cukup ganjil adalah pemesanan susu segar secara mendadak kepada peternak. “IPS tiba-tiba memesan susu segar dalam jangka waktu yang singkat. Kemudian pada pekan berikutnya, IPS tiba-tiba meminta untuk memesan susu segar hanya satu mobil saja atau tiba-tiba memutuskan untuk pekan depan tidak pesan dulu dan ini yang membuat kami sedih,” sesalnya.
Selengkapnya baca di majalah TROBOS Livestock Edisi 252/September 2020