Foto: dok.bella/ilustrasi
Jakarta (TROBOSLIVESTOCK.COM). Tersedia berbagai pilihan teknologi yang dapat disesuaikan dengan kebutuhan, memudahkan peternak dalam manajemen pemeliharaannya.
Peneliti Bioteknologi Reproduksi Ternak, Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI), yaitu Syahruddin Said dalam webinar knowledge sharing beberapa waktu lalu menyatakan generasi pertama bioteknologi reproduksi adalah artificial insemination atau inseminasi buatan (IB).
“Bioteknologi reproduksi IB digunakan untuk mengoptimalkan pejantan unggul, menghindari terjadinya penyebaran berbagai penyakit reproduksi, serta meningkatkan multigenetik ternak. Studi pertama dilakukan oleh Ivanoff yang berkebangsaan Rusia pada 1899 silam, kemudian diikuti oleh Ishikawa dari jepang pada 1912. IB di Indonesia sendiri mulai diperkenalkan oleh B Seit asal Denmark pada 1953 silam,” kisahnya.
Selepas IB diintroduksi di Indonesia, hingga detik ini teknologinya sudah tersebar hingga menyentuh ke seluruh pelosok negeri. Namun, masih ada beberapa daerah yang belum bisa diakses karena persoalan geografis. Tetapi Syahruddin menilai hampir seluruh Indonesia sudah terjamah oleh teknologi ini.
Pada generasi kedua, mulai ditandai dengan banyaknya informasi tentang multiple ovulation and embryo transfer (MOET), dengan istilah sederhananya adalah teknologi embryo transfer atau transfer embrio (TE). “Teknologi TE digunakan untuk memanfaatkan keunggulan genetik kedua tetuanya. Sesungguhnya, teknologi ini ditujukan guna memproduksi dan mempercepat produksi bibit unggul,” terang Syahruddin.
Sapi hasil TE pertama kali dilaporkan pada 1951, kemudian mulai diintroduksi di tanah air sejak awal dasawarsa 1980-an yaitu saat Sulawesi Selatan mengimpor embrio beku sapi potong dan perah dari Texas, Amerika Serikat. Setelah itu, embrio beku tersebut ditransferkan ke sapi potong dan perah di Indonesia dengan teknik pembedahan. Barulah selepas itu teknologi TE berkembang di Indonesia.
“Generasi ketiga ditandai dengan banyaknya embrio-embrio yang diproduksi secara in vitro atau diproduksi di luar tubuh ternak, yaitu in vitro fertilization (IVF). Sapi hasil IVF pertama dilaporkan di Amerika Serikat pada 1981. Hal yang menarik, pada 2016 embrio in vitro diproduksi melampaui jumlah embrio in vivo, yang artinya embrio in vitro diterima dengan sangat baik di industri-industri peternakan di seluruh dunia,” ujarnya.
Generasi keempat, adalah transgenesis atau somatic cell nuclear transfer (SCNT) yang populer pada 1995 – 1996. Saat itu, banyak sekali publikasi terkait dengan transgenesis atau kloning ini. Dengan lahirnya dolly pada 1996, yaitu seekor domba dari hasil teknik SCNT pertama kali, manandakan berkembangnya revolusi di bidang sains.
Problem Klasik
Bioteknologi reproduksi diterapkan untuk menggenjot produksi ternak sebagai sumber protein hewani. Syahruddin menjelaskan, pemenuhan konsumsi produk asal ternak atau hewan di Indonesia belum mencukupi sampai sekarang. Dibuktikan dengan data produksi daging sapi pada 2019 yang baru menyentuh 409.000 ton, sedangkan kebutuhannya mencapai 686.000 ton. Ini mengindikasikan, Indonesia masih kekurangan daging sapi sebanyak 29 %, sehingga masih harus impor.
“Konsumsi daging nasional, berdasarkan data FAO (Food and Agriculture Organization) pada 2006 hingga 2020 menunjukkan bahwa ternyata belum terlalu jauh bergeser, yaitu 4,5 kg per kapita per tahun. Angka ini didapatkan FAO dengan menghitung seluruh konsumsi daging nasional. Bila dibandingkan dengan konsumsi daging sapi di Malaysia, Thailand, Singapura dan Filipina, memang Indonesia jauh tertinggal,” sesalnya.
Gap antara proyeksi produksi daging sapi jika dihadapkan dengan kebutuhan daging sapi nasional, menunjukkan tren semakin membesar. Artinya, selisih kebutuhan daging sapi semakin lama akan semakin besar, sehingga tantangan swasembada daging nasional semakin berat. Maka perlu usaha yang lebih besar lagi dari berbagai pihak untuk itu. ed/bella