Foto: dok.istimewa
Bogor (TROBOSLIVESTOCK.COM). Pemanasan global yang disebabkan oleh emisi gas rumah kaca (GRK) akan menurunkan produktivitas pertanian termasuk peternakan sehingga mengancam global food security.
Hal tersebut diutarakan Ketua Departemen Ilmu Nutrisi dan Teknologi Pakan Fapet IPB University, Anuraga Jayanegara dalam seminar virtual melalui aplikasi Zoom bersama Universitas Terbuka (UT).
“Di Indonesia, tentunya sudah ada upaya untuk menurunkan emisi GRK (gas rumah kaca). Apabila dilihat lebih teliti, sektor pertanian menjadi salah satu kontributor terbesar dalam emisi GRK tersebut. Yang paling dominan memang CO2 atau karbondioksida. Tapi, ada juga jenis lain yang menjadi faktor pemanasan global, yakni metan yang berasal dari ruminansia,” terang Anuraga.
Metanogen, adalah mikroba yang terdapat di dalam rumen ternak yang bertanggungjawab terhadap proses metanogenesis atau pembatan emisi metan. Nantinya, akan dieruptasikan oleh ruminansia melalui sendawa. Jika terlalu banyak, maka bisa terjadi akumulasi di udara.
Berdasarkan hasil beberapa penelitian terdahulu, metan jelas berperan dalam pemanasan global sekitar 16 %. Meskipun memiliki presentase yang kecil, namun metan dalam meretensi panas sekitar 20 – 25 kali lipat dibandingkan CO2.
Proses fermentasi di rumen bisa menghasilkan metana karena kondisi di dalam rumen adalah anaerob, sehingga energi diperoleh mikroba yang bersimbiosis di dalam perut ruminansia menggunakan CO2 sebagai elektron akseptornya. SProses itu menghasilkan gas Ch4 atau metana.
Polifenol Jadi Unggulan
Prosentase metan yang dikeluarkan dari sendawa ternak adalah 90 %, sementara dari feses hanya 10 %. “Metan yang keluar melalui feses sejatinya dapat ditangani lewat biogas. Alih-alih dilepaskan ke atmosfer, metan bisa digunakan untuk masyarakat,” kata dia.
Lain halnya dengan emisi metan hasil proses sendawa. Rupanya, hal tersebut masih belum mampu dimanfaatkan sebaik biogas dari feses. Selain menimbulkan pemanasan global, gas metan yang terakumulasi di atmosfer juga merupakan bentuk kehilangan energi. Jadi, harus benar-benar diminimalkan.
Ada beberapa tahapan yang menjadi jalur antisipasi gas metan. Salah satunya adalah menurunkan produksi hidrogen. Hal ini terkait dengan bagaimana para peneliti menurunkan proses fermentasi yang tidak efisien di dalam rumen.
“Kemudian, hidrogen yang dihasilkan kami carikan alternatif akseptornya. Biasanya, adalah amonia dalam rumen yang bisa dimanfaatkan oleh mikroba rumen untuk sintesis protein mikroba,” terangnya.
Ada sekian banyak pendekatan yang dilakukan untuk mitigasi GRK. Dalam hal tersebut, Anuraga menyampaikan tentang polifenol. Senyawa ini adalah senyawa alami dan memiliki aktivitas antioksidan. Selain itu, polifenol tidak memiliki residu berbahaya dan banyak terdapat di negara tropis.
Polifenol atau tanin terbukti bisa menurunkan metan. “Bukan hanya penelitian kami, tapi dari berbagai riset juga menunjukkan kalau metan itu turun dengan adanya polifenol. Setelah kami teliti, terdapat 2 mekanisme yang terjadi,” lanjut dia.
Pertama, karena polifenol menurunkan produksi hidrogen, jadi polifenol berinteraksi dengan molekul protein dan molekul karbohidrat. Sehingga, menurunkan degradasi dan fermentasi dari nutrien tersebut di dalam rumen. “Dapat dikatakan, semacam bypass,” kata Anuraga singkat.
Dengan adanya bypass, produksi hidrogen diturunkan. Sementara, hidrogen adalah substrat untuk reaksi metanogenesis. Kalau hidrogennta turun, maka pembentukan metan juga mengalami penurunan.
Kedua, Anuraga dan rekannya mengukur polifenol dengan real time PCR (Polymerase Chain Reaction). Melalui metode tersebut, dapat diketahui jumlah populasi metanogen dengan penambahan tanin. Termasuk aktivasinya yang juga dapat diketahui dengan pasti. ed/ajeng