Cegah Stunting, Genjot Konsumsi Protein Hewani

Cegah Stunting, Genjot Konsumsi Protein Hewani

Foto: Dok. Bella, TROBOS


Jika seorang anak mengonsumsi lebih dari satu jenis protein dengan ribuan asam amino yang terkandung di dalamnya, maka risiko untuk stuntingnya akan berkurang
 
Stunting merupakan sebuah kondisi tidak optimalnya pertumbuhan pada seorang anak balita (bawah lima tahun), dimana tinggi badan menurut jenis kelamin dan umur di bawah standar. Dari data yang dikeluarkan oleh United Nations Children’s Fund (Unicef), World Health Organization (WHO), dan World Bank Group 2021, dapat dilihat masih ada 149,2 juta balita stunting di seluruh dunia dan 53 % berasal dari Asia. Indonesia menjadi penyumbang ke-4 setelah India, Nigeria, dan Pakistan.
 
Sementara itu, Pemerintah Indonesia atas amanah Presiden Republik Indonesia (RI) Joko Widodo memiliki perhatian besar terhadap masalah kualitas Sumber Daya Manusia (SDM). Oleh karena itu, Indonesia menargetkan akan menurunkan angka stunting di akhir 2023 menjadi 14 % karena dampak stunting yang sangat merugikan kualitas SDM.
 
Prof Damayanti Rusli Sjarif, Dokter Spesialis Anak Konsultan Nutrisi Penyakit Metabolik FKUI-RSCM menjelaskan, penyebab permasalahan stunting adalah kekurangan gizi jangka panjang atau kronik. Bukan hanya dari kekurangan makan, tapi bisa juga disebabkan oleh adanya penyakit tertentu.
 
“Tidak sekedar hanya badannya yang menjadi pendek, namun karena asupan nutrisinya yang kurang juga menyebabkan terhambatnya perkembangan otak. Sebanyak 60-70 % makanan yang dimakan oleh anak dipakai untuk pertumbuhan otak, jika asupan makanan kurang dan pada akhirnya otak tidak berkembang artinya kecerdasan pun menjadi menurun,” ungkapnya.
 
Berdasarkan analisisnya, adanya kondisi kekurangan gizi pada anak yang terdeteksi sejak 2 bulan pertama kehidupan, jika ditarik 8 tahun kemudian dan dibandingkan dengan anak yang tidak mengalami gizi buruk terlihat perbedaan IQ hingga 3-4 poin. Dan jika seorang anak mengalami gizi buruk di 1 tahun pertama kehidupannya, maka 65 % dari mereka hanya memiliki IQ di bawah 90, artinya kemampuan otaknya untuk bersekolah hanya sampai tingkat SMP. Bahkan IQ tersebut bisa menurun hingga 15-20 poin, menyebabkan seorang anak harus disekolahkan di Sekolah Luar Biasa.
 
“Anak-anak stunting ini adalah masalah kita bersama, kalau pun dilakukan perbaikan yang maksimal hanya bisa 90 % otaknya kembali. Jadi jangan sampai anak mengalami malnutrisi. Menurut Studi Status Gizi Indonesia (SSGI), angka stunting di Indonesia menurun dari 24,4 % pada 2021 menjadi 21,6 % pada 2022. Ini adalah masalah bangsa yang menjadi tanggung jawab kita untuk menghasilkan generasi yang lebih baik,” paparnya melalui webinar online beberapa waktu lalu.
 
Faktor Pemicu Balita Stunting 
Perempuan yang tergabung dalam Tim Aksi Cegah Stunting Ikatan Dokter Anak Indonesia (IDAI) dan Satgas Stunting IDAI ini menerangkan, ketidak tepatan asupan gizi yang diberikan oleh orang tua bisa menjadi penyebab utama stunting pada balita. Tidak hanya faktor kemiskinan, biasanya hal ini terjadi karena kurangnya pengetahuan dan edukasi para orang tua.
 
“Seperti pasien-pasien saya datang dengan mobil-mobil yang mewah tapi membawa anak stunting karena orang tuanya yang tidak tahu memberi makan untuk anaknya seperti apa. Yang terjadi adalah mereka memberi makan anaknya dengan produk impor yang ternyata tidak cocok dengan anaknya,” kisahnya.
 
Sepakat dengan ini, Hasto Wardoyo, Kepala Badan Kependudukan dan Keluarga Berencana Nasional (BKKBN) menyampaikan bahwa penyebab dari adanya stunting ini di antaranya adalah penyakit yang diderita anak sebelum memasuki umur 2 tahun. Kemudian, penyebab yang kedua ialah kurangnya asupan makanan. Anak yang kurang mendapatkan makanan yang cukup sebelum usia 2 tahun akan menyebabkan pertumbuhan menjadi tidak optimal dan berakhir stunting.
 
Yang ketiga, stunting bisa terjadi karena dari sisi parenting. Anak kurang mendapat asuhan yang baik, anak tidak bahagia, maka anak cenderung tidak mau makan dengan baik dan banyak. Jadi stunting ini adalah suatu kondisi gagal tumbuh, pertumbuhan tidak optimal, yang kemudian turut membuat kualitas SDM rendah.
 
Langkah Penangkalan Stunting 
Dalam rangka pencegahan stunting, Prof Damayanti menjelaskan bahwa setidaknya ada 3 tahap yang dapat dilakukan. Pertama, langkah primer dengan memberi makanan yang baik dan mengandung protein hewani yang cukup pada anak-anak sehat guna menghindari malnutrien. 
 
Kedua, pada anak-anak yang sudah mengalami sakit harus dilakukan tindakan sesegera mungkin agar tidak sampai terjadi gizi buruk dan stunting. Dan yang ketiga, kalau sudah ditemukan tanda-tanda adanya stunting pada anak, secepat mungkin harus diperbaiki agar anak memiliki kesempatan untuk memperbaiki kualitas dari otaknya. Mengingat masa untuk pertumbuhan otak sangat singkat.
 
Ia menyebutkan, 50 % kejadian stunting justru terjadi pada saat anak berusia 6-24 bulan, tepatnya pada saat pemberian Makanan Pendamping ASI (MPASI). Hal ini terjadi salah satunya karena tidak tercukupinya asupan protein hewani dalam makanan anak.
 
Sedangkan 20 % kejadian stunting muncul ketika bayi lahir, artinya bayi sudah mengalami stunting sejak dalam masa kandungan dimana pertumbuhan janinnya yang terhambat. Oleh karena itu, pihaknya telah mencanangkan strategi untuk mencegah terjadinya stunting pralahir, yaitu dengan melakukan pemantauan reguler kehamilan.
 
“Merujuk data SSGI yang mengatakan angka balita stunting adalah 21,6 %, dapat diartikan bahwa 21,6 % balita di Indonesia berisiko mengalami penurunan kemampuan kognitif, beresiko mengalami penyakit tidak menular di kemudian hari yang menjadi beban negara. Solusinya 78,4 % balita di Indonesia yang belum mengalami stunting harus dicegah supaya tidak menjadi stunting, kemudian anak-anak yang sudah terlanjut mengalami stunting dapat diselamatkan kognitifnya  dengan tumbuh kejar tinggi badannya, semakin cepat semakin bagus untuk kognitifnya,” pungkasnya.
 
Strategi Akselerasi Penurunan Stunting
Berbekal 20 tahun pengalaman mendalami nutrisi anak dan melakukan Uji Coba Aksi Cegah Stunting di Pandeglang, Prof Damayanti memperkenalkan konsep aksi cegah stunting berbasis bukti ilmiah IDAI. Sebagai langkah awal, dilakukan pencegahan primer dengan petugas gizi di lapangan dan bidan desa sebagai penanggung jawab. Tujuannya adalah pemberian ASI dan MPASI yang kaya protein hewani kepada bayi normal.
 
Setelah itu, dilakukan timbang ukur di posyandu sebulan sekali untuk mendeteksi dini malnutrisi. Ketika ditemukan balita dengan weight faltering, berat badan kurang, gizi kurang, dan gizi buruk, maka akan dirujuk ke puskesmas pusat. Jika memerlukan intervensi gizi, maka akan dilakukan untuk mempercepat tumbuh kejarnya. “Jadi bukan hanya diberikan protein tetapi harus ditambahkan terapi nutrisi. Apabila menunjukkan respon inadekuat, maka akan dirujuk ke RSUD bersama-sama dengan Bayi Berat Badan Lahir Rendah (BBLR) dan balita stunting,” ujarnya.
 
Sementara itu, Hasto menuturkan bahwa untuk mencegah stunting dapat ditempuh dengan mengonsumsi protein hewani. “Kita tahu bahwa di 1.000 Hari Kehidupan Pertama (HPK) pertumbuhan otak sangat pesat, kemudian setelah umur 2 tahun atau 1.000 hari ini, otak sudah tidak banyak lagi berkembang. Oleh karena itu, pertumbuhan otak sangat membutuhkan protein maupun lemak. Dan ternyata memang asam amino atau protein yang dibutuhkan ini lebih ke protein hewani,” sebutnya.
 
Ia menyarankan untuk mempertimbangkan betul-betul pemberian MPASI kepada anak-anak. Terutama sumber protein hewani seperti telur, daging, ikan, dan lain-lain. Menurutnya, pemberian protein kepada anak sebelum usia 2 tahun merupakan hal esensial karena akan sangat menentukan kecerdasannya dan status stunting atau tidaknya pada anak.
 
“Protein hewani itu sebetulnya tidak harus yang mahal. Konsumsilah protein hewani yang ada, tidak perlu pakai yang mahal ataupun impor. Kita harus menurunkan angka stunting dengan cepat, dan saya optimis kalau kita bisa karena sebenarnya sumber protein hewani kita ada dan cukup melimpah,” himbaunya.
 
Lanjutnya, ia melaporkan saat ini Badan Pangan Nasional (Bapanas) berkontribusi dengan BKKBN memberikan telur, ayam, dan beras. Di 3 bulan ini Bapanas telah memberikan kepada lebih dari 1 juta kepala keluarga. Ada pula program Bapak Asuh Anak Stunting di beberapa wilayah. Bapak asuh di sini mengambil peran untuk ikut bertanggung jawab akan warga yang berisiko stunting di daerah tertentu.
 
Program ini sudah banyak dilakukan di banyak daerah. Seperti misalnya untuk wilayah Yogyakarta, sudah berjalan di daerah Sleman, Kulon Progo, Gunung Kidul, dan lainnya. Para donatur ini akan bertanggung jawab atas beberapa anak untuk diberikan 2 butir telur setiap harinya selama 6 bulan.
 
“Harapan saya dengan adanya program tersebut, maka kita bisa membeli produk-produk lokal di sekitar daerah. Dengan itu, maka saya kira penyerapan telur-telur peternak di wilayah setempat juga akan berdampak lebih baik,” harapnya. 
 
Selain itu, sekarang ini juga sudah ada Dapur Sehat untuk Atasi Stunting (Dashat) yang sudah ada di beberapa desa. Sudah ada buku menu yang dibuat untuk mencegah stunting dengan bahan dasar lokal yang ada di desanya masing-masing.
 
Protein Efisien Tekan Stunting
Di sisi lain, Lely Delima Sakiyo, General Manager Nutrition and Technical Support, Feed Technology Division, PT Charoen Pokphand Indonesia, menekankan bahwa protein sangat penting untuk tubuh karena memang sebagian besar dari tubuh manusia terdiri dari protein. Protein terdiri dari susunan ribuan asam amino, sehingga kualitas protein ditentukan dari kelengkapan asam amino yang terkandung di dalamnya.
 
Ia mengatakan, protein terdiri dari protein lengkap dan kurang lengkap. Protein yang bisa dikatakan lengkap merupakan protein yang berasal dari hewani, karena mengandung 9 asam amino esensial. Asam amino esensial adalah asam amino yang harus didapatkan dari makanan karena tubuh tidak bisa memproduksi asam amino ini. Protein hewani juga mengandung 13 asam amino non esensial. Asam amino non esensial ini bisa diproduksi oleh tubuh manusia dengan menggunakan sumber dari asam amino esensial.
 
“Protein hewani pada umumnya merupakan sumber lemak, omega 3, vitamin b12, vitamin d, dan kalsium yang baik. Dan satu lagi mengapa protein hewani ini menjadi esensial, yaitu karena lebih mudah dicerna dibandingkan dengan protein nabati. Jadi kalau nabati umumnya kacang-kacangan, biji-bijian, yang mana berasal dari tumbuhan. Disitu ada serat kasar yang memerlukan effort lebih dari sistem pencernaan kita untuk memutus rangkaiannya sehingga proteinnya bisa terlepaskan,” terangnya.
 
Sehingga protein sumber hewani ini dikatakan lebih lengkap dan lebih baik untuk masa pertumbuhan. Karena di masa anak-anak, saluran pencernaannya sedang berkembang, kemudian juga sedang membangun masa otot, otak, organ tubuh, sehingga dia jauh lebih membutuhkan protein yang bernilai tinggi.
 
“Penelitian menyebutkan, jika seorang anak mengonsumsi lebih dari satu jenis protein dengan ribuan asam amino yang terkandung di dalamnya, maka risiko untuk stuntingnya akan berkurang. Kalau satu aja asam amino esensialnya tidak sesuai dengan kebutuhan makan, maka 34 % hormon pertumbuhannya akan turun. Artinya melengkapi kecukupan dari asam amino itu menjadi penting,” beber Prof Damayanti.
 
Protein nabati seperti kedelai, tempe, tahu, dan yang lainnya tidak sebaik protein hewani. Pada protein nabati kandungan asam amino esensialnya tidak seimbang, ada yang rendah sekali disebut limiting amino acids. 
 
Lanjut Prof Damayanti, laporan dari 49 negara memperlihatkan bahwa tingginya prevalensi stunting terkait dengan kandungan protein hewani dalam MPASI. Di Indonesia pada 2010, tercatat hanya 37 % dari balita 6-24 bulan yang mengkonsumsi protein hewani dalam MPASI. Sehingga tidak heran jika angka stunting di Indonesia masih terbilang tinggi.  
 
 
Selengkapnya Baca di Majalah TROBOS Livestock edisi 288/ September 2023
 

 
Livestock Update + Moment Update + Cetak Update +

Artikel Lain