Vaksinasi di Hatchery, Semakin Ideal

Teknologi vaksinasi di hatchery semakin ideal, didukung produk vaksin yang sesuai agar menghasilkan perlindungan dini (early protection) dan low stress. Vaksinasi di penetasan nyaris meniadakan vaksinasi broiler di farm, dan mengurangi jadwal vaksinasi 5 pekan pertama budidaya layer. Aris Humaidi, Manajer Produksi Farm Broiler Tri Grup menyatakan baru memulai menggunakan vaksinasi di hatchery setahun terakhir. Dia mengaku, dulu memandang banyak masalah penyakit yang terus terjadi berulang, sehingga merasa vaksinasi di farm lebih tepat.

 

“Kandang berada di pantura yang banyak interferensi dengan transportasi dan logistik. Bersamaan dengan vaksinasi itu, dilakukan seleksi / grading dan culling pada anak ayam yang lemah atau sakit,” kata dia. Realitanya, dia mengungkapkan, ternyata aplikasi vaksin di farm juga tidak mudah, terkendala oleh jadwal vaksinator yang padat. Kadang bisa tepat waktunya, vaksin pertama pada umur 4 hari.

 

Namun sering juga mundur, sampai hari keenam atau ketujuh, karena padatnya jadwal vaksinator. Selain itu, setiap hari hanya bisa menyelesaikan vaksinasi satu kandang, padahal di lokasi itu ada 5-6 kandang. Dia pun beralih menggunakan DOC (day old chicks, anak ayam umur sehari) yang divaksinasi di hatchery, sehingga saat DOC datang karyawan fokus mengurusi brooding dan seleksi saja, mengoptimalkan periode emas pertumbuhan. Disebutkannya, biaya vaksinasi di hatchery sekitar Rp 350 perekor, sedikit lebih murah daripada vaksinasi di kandang yang Rp 400 perekor.

 

“Tidak ada kendala berarti pada DOC yang sudah divaksinasi di penetasan, tidak ada pengaruh negatif vaksinasi di hatchery ini pada performa ayam,” dia menegaskan. Vaksinasi di farm, bisa diberikan berdasarkan kasus yang sering muncul sehingga lebih sesuai dengan tantangan di lapangan.

 

Sedangkan vaksinasi di hatchery, pada umumnya hanya untuk 3 jenis vaksin yaitu Newastle Disease (ND), Infectious Bronchitis (IB) dan Infectious Bursal Disease (IBD, gumboro). Biasanya peternak akan menambahkan program vaksinasi untuk penyakit lainnya, misalnya Avian Influenza (AI) di kandang, jika dipandang perlu. Menghadapi perubahan cuaca yang cenderung ekstrim, Aris Humaidi cenderung menyarankan agar vaksinasi dilakukan di hatchery.

 

Karena pertama, sumber daya manusia (SDM) kandang sekarang menginginkan pekerjaan menjadi lebih simpel, berbeda dengan 5 tahun lalu. Vaksinasi menambah beban pekerjaan mereka, yang harus diselesaikan secara paralel dengan tugas pokok lainnya. Kedua, vaksinasi di farm menimbulkan stres, mulai dari stres karena tidak dapat makan-minum selama vaksinasi (tempat pakan dan minum diangkat), kepadatan yang tinggi, dan handling oleh vaksinator.

 

Perlu Monitoring

Aris juga menyarankan agar produsen DOC yang melakukan vaksinasi di  hatchery juga rutin menggelar monitoring pada efektivitas dan efikasi vaksin yang diberikannya. Sebab seakan-akan, produsen DOC ini telah menjual DOC sepaket dengan vaksin yang dipergunakannya. “Mungkin hatchery bisa kerjasama dengan produsen vaksin, melakukan monitoring vaksinnya secara rutin.

 

Caranya, mengambil sampel titer antibodi dan menghitung efikasinya dalam rentang 2-3 bulan sekali. Karena kami peternak pengguna DOC yang divaksin di hatchery, dalam siklus tahunan masih merasakan ada setidaknya ada satu periode yang jebol (outbreak). Bagaimanapun, ini adalah uang yang terpaksa harus terbuang,” dia berharap. Aris mengamati, hatchery dan vendor vaksin baru turun untuk monitoring setelah muncul kasus penyakit.

 

Padahal menurut dia, logikanya harus dibalik, sebelum muncul kasus / outbreak harusnya database telah terkumpul untuk memitigasi risiko dan mengevaluasi vaksinasi yang mereka lakukan di hatchery. Bahkan dia menduga, antara daerah panas, sedang dan dingin akan memiliki tren data respons vaksinasi di hatchery yang berbeda. Hasil mitigasi dan evaluasi ini menjadi dasar rekomendasi solusi atas data yang ditemukan.

 

Jenis Vaksin di Hatchery

Zufar Maulana, Veterinary Services Area Jawa Barat PT Ceva Animal Health Indonesia (Ceva) menyatakan perusahaannya merupakan pionir vaksinasi di hatchery di level global, kemudian membawa masuk teknologi ini ke Indonesia pada 18 tahun lalu. Maka sampai sekarang, masih menguasai pasar hatchery vaccination pada DOC broiler (ayam pedaging) maupun layer (ayam petelur). “Vaksinasi utama yang diberikan di penetasan adalah vaksin ND, IB dan IBD atau gumboro. Vaksinasi ND dan gumboro dengan cara injeksi subkutan, sedangkan IB dengan metode spray,” kata dia.

 

Diapun mengklaim 95% DOC broiler yang beredar di pasaran sudah mendapatkan vaksinasi di hatchery. Sedangkan pada layer, masih di bawah 10%. Prof Wayan Teguh Wibawan – Ahli Mikrobiologi Sekolah Kedokteran Hewan Dan Biomedis. IPB University menyatakan vaksinasi di hatchery menjadi pilihan mulai saat ini dan ke depan. Misalnya untuk broiler komersial, vaksinasi di penetasan sudah menjadi pilihan, agar peternak tidak lagi pusing dengan jadwal vaksinasi di farm. Hampir semua breeding farm melakukan vaksinasi di hatchery, terutama untuk vaksinasi ND dan IBD. Broiler nyaris tidak perlu vaksinasi booster ketika vaksinasi seperti ND ini sudah dilakukan di hatchery, karena masa budidaya nya yang pendek.
 

Selengkapnya Baca di Majalah TROBOS Livestock edisi 298/ Juli 2024

 
Livestock Update + Moment Update + Cetak Update +

Artikel Lain