Menepis Ancaman Laten Koksidiosis

Parasit Eimeria sebagai penyebab koksidiosis menempel pada lapisan usus, merusak epitel dan membuat unggas susah menyerap nutrisi. Peternak harus rutin mengecek kandang untuk memastikan ayam tidak mengalami gejala-gejala dari penyakit ini baik yang bersifat subklinik maupun yang bersifat klinik

 

Koksidiosis disebabkan infeksi protozoa parasitik Eimeria sp, bahaya laten bagi kandang unggas. Sangat sulit dieradikasi, sering menyerang sembunyi-sembunyi (subklinis), sehingga harus terus dimonitor. Hendro P Utoro, dokter hewan yang juga peternak broiler (ayam pedaging) asal Makassar, Sulawesi Selatan menyatakan koksidiosis menjangkiti semua umur, meskipun gejala paling cepat biasanya terjadi pekan kedua setelah chick in pada broiler maupun layer (ayam petelur). Eimeria mengalami 2 siklus, seksual dan aseksual. Perkembangbiakan ada di tubuh ayam, lalu keluar melalui kotoran, kemudian mampu bertahan lama dalam bentuk ookista yang infektif, kemudian ketika ada kesempatan akan menginfeksi kembali.

 

Biasanya peternak mengandalkan koksidiostat sebagai benteng terhadap infeksi Eimeria. “Upaya menambahkan koksidiostat dalam pakan sekalipun, masih bisa bobol. Kalau (dosis) terlalu banyak diberikan juga akan mengganggu feed intake. Sebelum gejala infeksi muncul, sebenarnya gejala stagnasi konsumsi pakan sudah terlihat,” ungkap dia pada Mimbar TROBOS Livestock seri 48 yang digelar oleh TComm melalui aplikasi Zoom dan disiarkan oleh kanal youtube Agristream TV pada 21 Oktober 2024. Pada kesempatan itu tampil pula sebagai pembicara, Setia Hadi – Technical Manager Phibro Animal Health Indonesia dan Prof I Wayan Teguh Wibawan – Guru Besar Sekolah Kedokteran Hewan dan Biomedis IPB University.

 

Siklus Eimeria dan Ookista Infektif

Siklus hidup Eimeria sp, dikatakan Setia Hadi, adalah sangat kompleks. Secara garis besar terdapat fase aseksual atau skisogoni kemudian ada fase seksual atau gametogoni. Kedua fase ini terjadi di dalam tubuh ayam baik secara intraseluler (dalam epitel pencernaan) ataupun ekstraseluler (diluar epitel, di dalam lumen pencernaan).

 

Ookista yang dikeluarkan oleh ayam terinfeksi melalui ekskreta, sangat bandel dan sangat kuat itu sebenarnya menginfeksi kalau sudah mengalami sporulasi di luar tubuh ayam. Sebelum itu tidak infektif, sebanyak apapun termakan oleh ayam. Secara lengkap, Setia menguraikan siklus hidup Eimeria sp melalui rute infeksi fekal oral. Ookista yang telah tersporulasi terkena asam lambung dan gerakan mekanis gizzard, sehingga lapisan pelindung ookista pecah. Berhamburanlah sporozoid Eimeria, memulai fase aseksual (2 – 3 kali). Selanjutnya masuk fase seksual atau gametogoni. Sebagian sporozoid berkembang menjadi makrogamet dan sebagian menjadi mikrogamet, keduanya membentuk zigot. Zigot dikeluarkan dari tubuh ayam sebagai ookista. Di luar tubuh ayam, ookista bersporulasi pada lingkungan beroksigen, suhu 25– 30 oC dan kelembaban 70 – 80 %.

 

Setia merinci, ada 7 spesies Eimeria sp yang menyerang unggas. E aserfulina dan E praecox menyerang bagian depan usus halus (duodenum). E necatrix  menyerang bagian tengah (jejenum), berbagi dengan E mitis danE maxima. E brunetti biasa menginfeksi ileum sampai kloaka, sedangkan E tenella lebih banyak menginfeksi sekum. “Masing-masing punya lokasi infeksi yang spesifik, dengan lesi yang sangat spesifik pula. Sangat membantu diagnosa,” dia memaparkan.

 

Gejala Koksidiosis

Menurut Setia,Eimeria spp adalah parasit obligat intraseluler, yang perlu menginvasi sel - sel usus untuk replikasi. Padahal usus adalah organ yang sangat penting bagi ayam. Tidak hanya untuk absorbsi, namun juga sebagai organ pertahanan tubuh. “Sebenarnya pertahanan tubuh terbesar pada ayam adalah usus. Karena di sana ada gut-associated lymphoid tissue (GALT). Selain itu, sebenarnya lumen usus adalah bagian luar dari tubuh ayam. Jadi dia bertindak sebagai pertahanan pertama terhadap apapun yang masuk ke dalam saluran pencernaan. Yang bisa saja membawa parasit, virus, atau bakteri target infeksinya melalui pencernaan,” dia menguraikan.

 

Ketahanan tubuh akan turun jika terjadi peradangan akibat infeksi pada usus. Maka terjadi imunosupresi, potensi infeksi sekunder akan meningkat. Otomatis mortalitas jug akan meningkat. Absorsi nutrisi juga akan turun, konversi pakan membengkak, pertumbuhan atau produksi telur juga akan memburuk. Terjadi pula gangguan keseimbangan elektrolit dalam hal ini diare, juga anemia.

 

Hendro menyatakan, ayam yang terinfeksi Eimeria bergejala bulu kusut, diare, dan berak darah. Pada umur muda atau memasuki pekan kedua pertumbuhan terhambat, keseragaman terganggu, saluran pencernaan tidak berfungsi optimal sehingga kekurangan nutrisi dan muncullah gejala anemia. Nafsu makan pun turun. Pada pullet(ayam dara siap bertelur), ayam mengkonsumsi pakan banyak tetapi tidak tercerna. Produksi telur drop pada layer, dan bobot badan dibawah standar.

 

Menurut dia, pada bahan organik ookista Eimeria sulit diberantas, sangat kebal sehingga mampu bertahan, berbilang bulan karena memiliki semacam jaket yang melindungi. “Maka lakukan surveilans dan diagnosa secara lebih teliti. Apalagi, koksidiosis tidak hanya muncul terang-terangan (klinis), namun juga bisa subklinis. Lakukan penghitungan ookista, juga uji PCR (Polymerase Chain Reaction). Jika sudah terjadi infeksi, lesi pada usus diukur. Setiap lesi diberi skala 1-4,” dia mengimbau.

 

Monitoring Eimeria

Setia menjelaskan monitoring lapangan yang paling mudah adalah lession scoring, digunakan untuk memonitor efikasi dari antikoksidial. Lesi yang menggambarkan kerusakan epitel usus dilihat secara secara makroskopis sangat berkorelasi dengan performa dan juga kerusakan akibat koksidia.

 

Lession scoring sangat mudah, hanya modal gunting. Selama lession scoring dilakukan dengan benar kita bisa estimasi sejauh apa koksidiosis terutama yang subklinis menjadi ancaman di farm,” ujarnya. Pada gambar terlihat E acervulina lesinya sangat spesifik seperti butir-butir beras di duodenum. Jika dalam 1 cm2 ada 1-5 titik lesi, maka skornya 1. Skor 2 jika ada 6 – 10 lesi, dan skor 3 jika ada di atas 10 lesi. Skor 4 jika lesi sangat parah, sudah memenuhi dinding duodenum.

 

Diagnosa kedua untuk E maxima sering kali terlewat ketika melakukan lession score. Lesi E maxima sangat dalam, sehingga dapat terlihat dari bagian serosal usus (bagian jejenum). Maka itu, tidak perlu dibuka lebih dahulu ususnya. Jika terlihat ada 1 titik lesi dari keseluruhan bagian, itu cukup untuk memberi skor 1. Kalau ada beberapa titik dari satu lapang, maka skor 2. Kemudian skor 3, jika  dibuka sudah terjadi perdarahan dan penebalan. “Pada farm komersil jarang sampai skor 3, kecuali pada kondisi trial atau challenge test,” dia mengatakan.

 

Setia hadi menguraikan, E tenella secara spesifik menyebabkan perdarahan pada sekum. Perdarahan tipis skor 1. Kemudian lebih parah skor 2 atau 3. Kalau skor empat kemungkinan ayamnya sudah mati. Diagnosa atas infeksi E maxima jika secara lession score masih diragukan, dia menyarankan untuk melakukan scrapping pada mukosalnya, kemudian diamati di bawah mikroskop. Pembesaran idealnya minimal 40 kali. Jika ditemukan ookista, maka terkonfirmasi ada E maxima.

 

Selanjutnya, diagnosa diperkuat dengan mengamati index performance (IP) dan trend IP. Sebab koksidiosis sangat mempengaruhi konversi pakan (FCR, feed convertion ratio). “Kita bisa duga dengan membandingkan ayam yang diberikan sapronak dan lingkungan yang sama. Jika lession score positif, penurunan performa dan kenaikan FCR maka ini memperkuat indikasi koksidiosis,” urai dia.

 

Monitoring farm, dia memaparkan, dilakukan dengan sampling 10-12 flock per periode pemeliharaan. Sampel minimal 5 ekor ayam sehat secara random dari satu flock (bukan ayam mati maupun culling), diambil mulai umur 18 hari. Kemudian flock lainnya pada umur 20 hari dan flock  berikutnya pada umur 25 hari. Pengamatan pada ayam mati saja tidak menggambarkan tingkat serangan koksidiosis sebenarnya.

 

Sampling pengamatan lession score dimulai pada 18 hari karena masing-masing spesies Eimeria memiliki siklus hidup atau reproduction rate yang berbeda-beda. E acervulina paling cepat berkembang biak, disusul E tenella dan E maxima yang paling lambat. “Kita ingin sampling memberikan gambaran yang utuh dari status serangan tiga spesies Eimeria ini terhadap ayam. Untuk konfirmasi dilakukan pengamatan mikroskopis, frekuensinya secara musiman dan saat ada perubahan dalam manajemen pemeliharaan,” tegasnya. Idealnya memang dilakukan setiap periode pada broiler atau bisa setiap bulan pada layer.

 

Data sampling lession score dari 5 ekor ayam per flock itu diubah menjadi data numerik lalu dikumpulkan dalam tabel. Setia merinci, misalnya flock pertama dari 5 ekor ayam 4 ekor positif E acervulina dengan skor 2. Maka ditulis infeksi E acervulina 0,8. LesiE maxima terdeteksi pada 2 dari 5 ekor ayam, maka ditulis 0,2. Kemudian 2 ekor ayam terdeteksi lesi E tenella skor 1, maka ditulis 0,2. Sehingga total nilainya 0,8 + 0,2 + 0,2 = 1,2.

 

“Nilai 1,2 artinya program anti koksidiosis masih efektif menekan kasus. Jika nilainya 2 atau lebih maka sudah lampu kuning, perlu segera evaluasi program anti koksidiosis bahkan evaluasi feed yang digunakan,” sambung dia.  Data dari semua sampling dari berbagai flok dalam satu periode pemeliharaan dikumpulkan dalam satu tabel. Data nilai sampling setiap spesies dari 3 spesies utama Eimeria di atas dirata-rata, kemudian dijumlahkan. Sehingga diperoleh nilai yang menggambarkan tingkat infeksi dari keseluruhan flok. Data ini dapat dikorelasikan dengan FCR dan performa ayam, sebagai dasar evaluasi yang lengkap dan komprehensif untuk melakukan kontrol koksidiosis.

 

Kerugian Sangat Besar

Setia menyatakan efek koksidiosis atau infeksi Eimeria ini kerusakan ekonomisnya sangat besar. Hal ini berpangkal pada 2 jenis manifestasi koksidiosis, ini yaitu klinis dan subklinis. Koksidiosis klinis menunjukkan gejala nyata berupa berak darah, diare bulu kusam dan kotor. Mortalitas pada umumnya tidak tinggi antara 1 – 2 %. Pada infeksi parah maksimal kematian 15 %. Lesi post mortem – ditemukan perdarahan dan sering disertai enteritis.

 

Setia menegaskan koksidiosis subklinis lebih utama diwaspadai, karena tidak mudah dideteksi namun dampaknya sangat merugikan. Secara visual ayam (broiler) terlihat sehat, tidak ada gejala koksidiosis, tetapi setelah dipanen performanya jauh dari harapan. “Bisa jadi sudah terjadi kerusakan pada vili usus sehingga efisiensi pakan turun. Maka perlu pemeriksaan mendalam secara periodik,” dia menegaskan.

 

Dia menyebutkan secara model matematika potensi kerugian ekonomi global akibat koksidiosis itu diperkirakan USD 14 miliar pertahun. Sebesar 80% darinya adalah akibat koksidiosis subklinis. Sehingga koksidiosis klinis hanyalah puncak dari gunung es, karena kerugian ekonomisnya hanya 20%, sedangkan yang 80% justru tidak terlihat gejalanya. “Tidak ada satupun broiler dan layer yang benar-benar free dari koksidiosis. Ookista Eimeria sangat sulit diberantas, bahkan tidak ada disinfektan yang benar-benar efektif membasmi ookista Eimeria,” dia mengungkapkan. 

 

Selengkapnya Baca di Majalah TROBOS Livestock edisi 302/ November 2024

 
Livestock Update + Moment Update + Cetak Update +

Artikel Lain