Waspada Omphalitis pada Anak Ayam (DOC)

Pada dasarnya ini adalah penyakit sanitasi, berkaitan dengan kebersihan lingkungan baik saat ayam sebelum menetas maupun setelah menetas

 

Secara normal, umbilicus atau kantung pusar seekor DOC (anak ayam umur sehari) akan menutup dalam waktu 1 – 2. Artinya, pada umur 2 – 3 hari sudah tertutup sehingga infeksi dari luar tidak akan masuk. “Ini yang pertama harus dipahami terlebih dahulu,” kata Komang Budiarta, menyampaikan keterangannya kepada TROBOS Livestock.

 

Lanjut Health Division Control Manager PT Super Unggas Jaya wilayah barat ini, fisiologi kedua yang juga harus dipahami adalah yolk sacc atau kuning telur dalam tubuh DOC akan habis terserap dalam waktu 5 – 7 hari. Kuning telur merupakan sumber energi bagi anak ayam sejak embrio dalam telur sampai menetas dan beberapa hari di awal kehidupannya.

 

Dan ketika kantung pusar tidak dapat menutup dengan sempurna kemudian terjadi infeksi dan melanjut menyebabkan radang pada kuning telur, saat itulah anak ayam disebut menderita omphalitis.  “Ada peradangan pada pusar, dan pusar itu hubungannya dengan kuning telur atau yolk sacc,” terangnya.

 

Penyakit ini erat hubungannya dengan tidak terserapnya kuning telur dengan sempurna, atau yang disebut yolk retention. Komang menyebutkan, ayam yang menderita omphalitis menunjukkan gejala pusar dan daerah sekitarnya berwarna kehitaman, lemah, dan berat badan kecil karena nafsu makan menurun.

 

Senada, kepada TROBOS Livestock General Manager Head Office wilayah timur PT Charoen Pokphand Indonesia, Syahrir Akil menyampaikan, DOC penderita omphalitis akan terlihat lemah, berdiri sambil tertunduk, dan terjadi keradangan di sekitar pusar.

 

Gambaran lebih rigid disampaikan Bernike Anggun Damairia, Health Control di farm PT Sierad Produce. Kata Anggun –demikian ia biasa disapa—, selain tali pusar ayam masih terbuka dan basah, perut ayam tampak lebih besar dan keras jika ditekan. Dan apabila dilakukan nekropsi (pembedahan) pada ayam yang terkena omphalitis, akan ditemui sisa kuning telur. “Kantung kuning telur DOC berwarna hijau,” imbuh dia.

 

Turut memberikan keterangan adalah Sri Mulyani, tenaga kesehatan dari  PT Janu Putra Sejahtera. Antara lain ia mengatakan, DOCdi hatchery (tempat penetasan) sudah terlihat kembung, perut besar, pusar basah, tidak tumbuh bulu di sekitar pusar. Dan hasil nekropsi menunjukkan yolk sacc tidak terserap sempurna dan berwarna hijau, konsistensi lebih encer. “Apabila mampu hidup, maka pertumbuhannya lambat atau kerdil, karena feed intake tidak bisa optimal,” imbuhnya.

Bakteri yang menginfeksi dapat diketahui setelah dilakukan isolasi dari kantung kuning telur ayam yang terinfeksi. Komangmenyebut bakteri yang kerap ditemukan pada kasus omphalitis adalah Esherichia coli (E coli), Pasteurella, dan Salmonella sp. Bakteri yang sudah mengontaminasi tersebut, kata Komang, akan menyebabkan kontaminasi secara sistemik seperti menjalar ke sistem peredaran darah. Sementara Syahrir, selain E coli dia juga menyebut kelompok Staphylococcus, Streptococcus, dan Proteus kerap ditemukan saat isolasi.

 

Tidak terserapnya kuning telur yang merupakan sumber cadangan energi, dikatakan Komang, membuat suplai energi untuk pertumbuhan tidak tercukupi. Inilah yang menyebabkan pertumbuhan ayam terhambat, sehingga badannya kecil.

 

Selain itu, tidak sempurnanya penyerapan tersebut akan berimbas pada imunitas (kekebalan tubuh) yang rendah pada ayam. Kali ini penjelasan dari Anggun. Pasalnya, di dalam kuning telur terkandung juga maternal antibody, antibodi asal dari induk. Rendahnya sistem kekebalan tubuh ini dapat menyebabkan kematian di minggu pertama pemeliharaan.

 

Ayam yang terkena ompalitis tak akan sanggup hidup lama. Menurut Komang, biasanya mati pada umur 1 – 5 hari. Sementara kata  Anggun,  paling lama ayam dapat bertahan hidup sampai umur 7 hari.

 

Dari Breeding atau Hatchery
Dikatakan Sri Mulyani, kasus omphalitis di lapangan sering dijumpai dan setiap tahun pasti ditemukan. Meskipun, sambung dia, tingkat keparahannya ringan. Ini antara lain disebabkan oleh iklim dan pola pemeliharaan di Indonesia. “Biasanya akan meningkat di masa pancaroba dan di saat populasi DOC sedang puncak,” kata dia.

 

Pendapat berbeda disampaikan Syahrir, yang mengatakan kasus omphalitis tidak begitu sering terjadi, hanya pada kondisi tertentu. Misalnya karena hatchery yang kurang bersih, atau karena telur tetas yang dikirim dari breeding ke hatchery terkontaminasi bakteri. Rendahnya kelembaban dalam mesin tetas juga disebutnya berpotensi sebagai pemicu, karena membuat membran kerabang telur menjadi kering, dan proporsi membran kerabang telur yang kering ini akan menarik pusar sehingga terjadi iritasi dan devitalisasi jaringan pusar. “Sehingga pusar tidak tertutup sempurna,” paparnya.

 

Selain karena kondisi di breeding dan hatchery, Syahrir mengatakan, omphalitis dapat pula dipicu kejadiannya sesampainya DOC di kandang komersil. Antara lain disebut, penyiapan brooding yang tidak maksimal, seperti litter terkontaminasi atau suhu serta kelembaban brooding yang tidak sesuai. “Kondisi ayam yang stres dapat menyebabkan proses absorpsi kuning telur terhambat,” ujarnya.

 

Anggun menilai masih wajar ketika jumlah DOC yang mengalami omphalitis, 1 % dari total populasi. Angka yang hampir sama disebut Komang 0,5 – 1 %. Dan akan menjadi kasus tersendiri, kata Anggun, bila ditemui 2 – 3 %.

 

Jarangnya omphalitis ditemui di kandang komersil dikemukakan Djody Hario Seno, peternak broiler asal Bekasi, Jawa Barat. “Omphalitis ada, namun jarang. Paling banyak 1 %,” kata dia. Tetapi menurut Djody, kejadian omphalitis tidak ada hubungannya dengan manajemen di farm komersil. Ia meyakini, kasus ini lebih dipengaruhi oleh proses produksi telur di breeding (pembibitan) dan handling atau penanganan di hatchery (penetasan).

 

Proses transportasi dari breeding ke hatchery contohnya, berpotensi sebagai pintu masuk kontaminasi, terlebih jika sanitasi kendaraan tidak diperhatikan. Bahkan, dikatakan Komang, terkontaminasinya telur tetas (hatching egg/HE) dapat terjadi sebelum telur keluar dari induk. “Itu karena induk yang tidak sehat,” ujarnya.

 

Senada, Anggun menuturkan, mencari penyebab kasus omphalitis harus dirunut dari awal, baik dari breeding sampai hatchery. Anggun mengistilahkan, pada dasarnya omphalitis adalah penyakit sanitasi. “Jadi kaitannya dengan kebersihan lingkungan. Baik saat ayam sebelum menetas maupun setelah menetas,” tandasnya.

 

Dan bila telur yang terkontaminasi bakteri masuk dalam hatcher (mesin tetas), ia berpotensi akan menyebarkan kontaminan. Anggun menjelaskan, suhu inkubasi sangat cocok untuk bakteri berkembang biak.

 

Selengkapnya baca di majalah TROBOS Livestock Edisi 177/ Juni 2014

 
Livestock Update + Moment Update + Cetak Update +

Artikel Lain