Erwidodo: Menimbang Keanggotaan Indonesia di WTO

Erwidodo: Menimbang Keanggotaan Indonesia di WTO

Foto: 


Saat ini, Indonesia menghadapi proses pengadilan/penyelesaian sengketa dagang (Dispute Settlement Mechanism) di Organisasi Perdagangan Dunia atau World Trade Organization (WTO), baik sebagai tergugat maupun penggugat, dalam perdagangan komoditas/produk pertanian. Indonesia sedang bersengketa dengan co-complainant  New Zealand (NZ) dan Amerika Serikat (USA) sebagai tergugat (respondent) untuk kasus importasi produk hortikultura, hewan dan produk hewan yang dikenal dengan kasus DS477 dan DS478.

 

Indonesia digugat oleh kedua negara tersebut karena kebijakan perdagangan/importasinya dinilai tidak konsisten atau melanggar aturan WTO. Kasus DS477 dan DS478 melibatkan beberapa negara anggota WTO lain sebagai pihak ketiga (third parties), yakni Australia, Brazil, Canada, China, Uni Eropa, India, Jepang, Norwegia, Paraguay, Singapura, Taiwan, Argentina, Korea, dan Thailand.  Pihak ketiga ini, sebagaimana tertuang dalam Artikel 10.3 dari Dispute Settlement Understanding (DSU), mempunyai hak untuk mengikuti secara penuh proses persidangan, mempunyai hak untuk memperoleh semua dokumen tertulis (written submissions) pihak yang bersengketa, dan mempunyai hak untuk menyampaikan dan didengar pendangannya dalam proses persidangan.

 

Keputusan panel hakim Dispute Settlement Body (DSB) yang secara resmi telah disampaikan dalam sidang regular DSB pada 22 Desember 2016 memutuskan bahwa kebijakan pembatasan impor yang diterapkan Indonesia (ada 15 rincian ‘measures’ yang digugat NZ dan USA) dinilai tidak konsisten dengan atau melanggar aturan WTO. Pemerintah Indonesia tidak menerima keputusan panel dan mengajukan banding (appeal) ke Appellate Body (AB), yaitu semacam Mahkamah Agung dalam sistem peradilan di Indonesia, yang persidangannya dilakukan tiga hakim AB dan sekarang sedang berproses untuk menghasilkan keputusan akhir yang mengikat.

 

Namun, perlu diketahui bahwa proses banding, sesuai Pasal 17.6 dari Dispute Settlement Understading, hanya terbatas pada proses dan interpretasi hukum yang dikembangkan oleh Panel Hakim, tidak untuk menambah data dan argumentasi hukum serta mengulang proses persidangan sebelumnya. Dalam laporannya hakim AB dapat mendukung (up hold), memodifikasi atau menolak (reverse) temuan hukum dan keputusan dari panel. Memahami hal ini dan menyimak keputusan panel, kita bisa menduga kecilnya peluang untuk memenangkan proses banding untuk DS 477/DS 478 yang sedang berlangsung.

 

Sementara kasus DS477 dan DS478 sedang berlangsung, Indonesia juga digugat Brazil untuk kasus kebijakan importasi daging ayam dan produk daging ayam yang diterapkan pemerintah Indonesia, dikenal dengan kasus DS-484. Brazil menilai bahwa kebijakan pemerintah Indonnesia yang tertuang dalam Permendag No. 24/Mendag/PER/9/2011 dan Permentan No. 50/Permentan/OT.140/9/2011 yang melarang impor daging ayam dan produk daging ayam, termasuk daging ayam utuh dan MDM (Mechanically Deboned Meat) tidak konsisten atau melanggar aturan WTO.

 

Disamping Brazil sebagai penggugat, kasus DS-484 ini melibatkan 19 negara anggota WTO sebagai pihak ketiga (third parties), yakni USA, Uni Eropa, Korea Selatan, China, Cile, New Zealand, Norwegia, Vietnam, Paraguay, Taiwan, India, Australia, Argentina, Rusia, Kanada, Thailand, Oman, dan Qatar. Sampai saat ini panel DS-484 masih berjalan dan belum ada keputusan panel.

 

 

Proses Sidang di WTO

Penting untuk dipahami bahwa proses penyelesaian sengketa dagang di DSB – WTO adalah proses pengadilan bukan proses negosiasi, yang bertujuan untuk membuktikan dan memutuskan apakah kebijakan perdagangan yang diterapkan pemerintah negara tergugat konsisten atau melanggar aturan WTO berdasarkan bukti-bukti empiris, argumentasi ilmiah, dan fakta hukum. Jadi, penyelesaian sengketa dagang adalah proses pengadilan bukan negosiasi.

 

Proses pengadilan di DSB-WTO ditangani oleh 3 Hakim Panel yang dibentuk lewat proses pengajuan dan kesepakatan antara pihak yang bersengketa. Namun, jika tidak terjadi kesepakatan dalam memilih hakim antara kedua belah pihak, maka susunan hakim akan diputuskan oleh Director General (DG) WTO. Dalam proses ini, negara yang bersengketa akan diwakili oleh tim penasehat hukum (lawyers), tidak lagi melibatkan diplomat dan/atau tim perunding pemerintah.

 

Data di DSB-WTO memperlihatkan bahwa negara tergugat hampir selalu kalah dalam proses penyelesaian sengketa dagang, artinya panel – hakim setelah mendengarkan dan mempertimbangkan argumentasi hukum dari lawyers kedua belah pihak, meskipun tidak secara mutlak,  pada akhirnya memutuskan bahwa kebijakan tergugat melanggar aturan WTO yang berlaku. Hal ini mudah diduga, karena tim penasehat hukum negara penggugat secara rinci menyebutkan kebijakan (measures) negara tergugat yang dinilai tidak konsisten atau melanggar aturan WTO yang berlaku.

 

Perlu diketahui aturan WTO mengikat seluruh anggota tanpa terkecuali, setiap anggota terikat dalam hak dan kewajiban yang harus dipenuhi. Kewajiban anggota dibedakan antara negara belum berkembang (Least Developed Countries-LDCs), negara sedang berkembang (Developing Countries), dan negara maju (Developed Countries) mengacu kepada prinsip “Special and Differential Treatment” (S&DT) yang membebaskan dan/atau memberikan kelonggaran yang lebih besar dalam melaksanakan kewajiban kepada LDCs dan negara berkembang dibandingkan kepada negara maju.

 

Hak anggota diantaranya meningkatkan dan mempertahankan akses pasar ekspor secara Most Favored Nation (MFN); melakukan perlindungan pasar domestik (defensif) melalui penerapan trade remedies seperti anti dumping, safeguards, dan instruments defensif lainnya. Sementara kewajiban anggota diantaranya menyelaraskan aturan perdagangan nasional dengan aturan di WTO; transparan tentang kebijakan dan aturan perdagangan melalui proses notifikasi dan proses review kebijakan perdagangan (Trade Policy Review Mechanism-TPRM).

 

 

Dampak di Industri Peternakan Tanah Air

Dari daftar hak dan kewajiban di atas memberikan informasi plus – minus menjadi anggota WTO. Namun menjadi anggota WTO lebih banyak plusnya dibandingkan minusnya karena WTO memberikan kepastian hukum dan aturannya mengacu pada ‘best policies and trade practices’. Maka kewajiban untuk menyelaraskan aturan perdagangan nasional dengan aturan WTO akan dapat mengantarkan negara anggota meningkatkan volume dan nilai perdagangannya sehingga dapat mencapai pertumbuhan ekonomi yang lebih tinggi.

 

Argumentasi ini diperkuat dengan kenyataan banyaknya negara yang masih dalam antrian untuk menjadi anggota WTO dan sebagian masih dalam proses aksesi (sebuah tindakan formal yang dilakukan oleh satu negara dalam tingkat internasional untuk menyatakan terikat atau menjadi pihak dalam satu penjanjian) menjadi anggota WTO. Beberapa negara termasuk China dan Rusia baru diterima menjadi anggota WTO setelah mengikuti proses panjang lebih dari 15 tahun  dan bersedia melakukan penyesuaian kebijakan perdagangannya. Terbukti China, yang resmi masuk menjadi anggota WTO Desember 2001, sekarang menjadi pemain terbesar di perdagangan dunia dan ekonominya tumbuh terpesat di dunia.

 

Berbicara kekalahan Indonesia dalam kasus DS477/DS478 dan kemungkinan besar kekalahan yang akan dialami dalam kasus DS484 perlu menjadi pembelajaran dalam perumusan kebijakan pembatasan impor produk pertanian/peternakan ke depan. Yang pasti, agar dapat memperoleh manfaat maksimum dari keanggotaannya di WTO, semua pihak di Indonesia khususnya pembuat kebijakan, akademisi, peneliti, pengamat ekonomi dan pelaku usaha, perlu memahami hak dan kewajiban anggota. Serta memahami semua aturan WTO yang berlaku.

 

Pemahaman terhadap aturan WTO sangat diperlukan untuk (i) menghindarkan pemerintah menerbitkan aturan/kebijakan yang tidak konsisten dengan aturan WTO; (ii) jika pemerintah terpaksa harus bermanuver dengan kebijakan yang tidak konsisten dengan aturan WTO dapat melakukannya lebih cantik dan cermat. Juga dapat mengantisipasi dengan alasan/argumentasi hukum jika dipertanyakan atau digugat negara anggota yang lain.     

 

Kebijakan perlindungan peternak dan pasar domestik, seyogyanya tetap menggunakan trade defence instrument’ seperti tariffs, anti dumping, safeguards, standards, dan SPS (Sanitary and Phytosanitary) sesuai aturan WTO yang berlaku. Untuk itu, diperlukan analisis tingkat kesesuaian atau compliance untuk setiap rencana peraturan/kebijakan perdagangan (pembatasan impor) sebelum resmi menjadi peraturan/regulasi.

 

Daya saing merupakan kata-kunci di era perdagangan global yang semakin kompetitif. Untuk memenangkan persaingan dan mempercepat pertumbuhan sektor peternakan, diperlukan langkah kongkrit dan kebijakan komprehensif yang terintegrasi untuk meningkatkan efisiensi dan daya saing industri peternakan. Kebijakan pembatasan dan pelarangan impor saja tidak cukup untuk meningkatkan daya saing, harus didukung kebijakan lain, mulai dari kebijakan yang mempermudah investasi dan permodalan, ketersediaan input dan dukungan produksi, peningkatan infrastruktur, peningkatan efisiensi logistik, dan sebagainya.

 

Melaksanakan atau tidak melaksanakan keputusan Panel-DSB maupun AB tidak serta merta akan meningkatkan atau menggerus daya saing sektor peternakan. Hal ini karena kebijakan yang digugat dan diputuskan oleh Panel/AB hanya terbatas kebijakan perdagangan khususnya impor, yang umumnya bersifat ‘larangan dan restriktif’ untuk melindungi petani/peternak dan pasar domestik dari produk impor. Kebijakan larangan dan pembatasan impor diambil oleh pemerintah karena industri peternakan dalam negeri memang belum atau tidak berdaya saing. Untuk menjadi industri berdaya saing perlu pentahapan dan kebijakan lain di luar kebijakan perdagangan, tidak bisa instan hanya dengan cara melarang atau membatasi impor.

 

Aturan WTO tidak melarang negara anggota untuk melakukan pembatasan impor dengan tujuan untuk melindungi petani/peternak serta pasar domestik. Aturan WTO juga tidak melarang anggota untuk memberikan dukungan dan subsidi domestik kepada petani/peternak sepanjang sesuai dengan aturan WTO yang berlaku. Aturan WTO bagi LDCs dan Negara Berkembang baik untuk pembatasan impor maupun untuk dukungan/subsidi domestik lebih longgar dibandingkan bagi Negara Maju. Oleh karena itu, untuk meningkatkan daya saing industri peternakan, pemerintah Indonesia dapat menerapkan kebijakan dukungan/subsidi domestik dan perlindungan kepada para peternak melalui pembatasan impor, namun harus sesuai dengan aturan WTO yang berlaku.TROBOS

 

Duta Besar Indonesia untuk WTO Periode 2008 – 2012

Peneliti Senior di Pusat Analisis Sosial Ekonomi dan Kebijakan Pertanian, Kementerian Pertanian

 
Livestock Update + Moment Update + Cetak Update +

Artikel Lain