Menyikapi Ancaman Ayam Impor

Menyikapi Ancaman Ayam Impor

Foto: bella


Peternak harus mampu mengubah pola pikir budidaya yang lebih efisien dan efektif melalui modernisasi perkandangan serta mampu berkolaborasi guna meningkatkan daya tawar dan efisiensi produksi
 
 
Kekalahan Indonesia atas gugatan Brazil di WTO (World Trade Organization) terkait daging ayam berdampak pada resahnya para pelaku usaha perunggasan di tanah air akan serbuan daging ayam impor. Berbagai diskusi dan kajian pun digelar guna menyiasati imbas yang bisa terjadi jika importasi itu benar-benar terealisasi. Salah satunya, seminar yang digelar GOPAN (Gabungan Organisasi Peternak Ayam Nasional) dan ISPI (Ikatan Sarjana Peternakan Indonesia) disela pameran Ildex Indonesia 2019 di ICE BSD, Tangerang Banten, pada Kamis (19/9) yang mengupas topik tersebut.
 
 
Ketua Harian GOPAN, Sigit Prabowo menyatakan isu gempuran karkas ayam pedaging (broiler) asal Brazil menguji sektor budidaya perunggasan dalam negeri. “Salah satu jalan yang harus ditempuh untuk menghadapi daging ayam impor adalah harus ada gerakan efisiensi nasional yaitu dari hulu sampai hilir seperti bahan baku pakan, harga pakan, harga DOC (ayam umur sehari), tata laksana perkandangan dan efisiensi dalam pengelolaan tata niaganya,” ujarnya 
 
 
Ia melanjutkan, harga sapronak (sarana produksi ternak) yang terlalu tinggi akan memberatkan peternak sebagai pengguna. “Daya saing produk hilir berupa ayam hidup (live bird) hasil budidaya di tingkat peternak akan tergerus tatkala material yang harganya mahal sudah ditetapkan sejak awal,” tandas Sigit.
 
 
Indonesia vs Brazil
Saat ini Brazil menguasai sekitar 25 % ekspor ayam untuk seluruh dunia. Di peternakan Brazil, berdasarkan teori atau literatur, struktur biaya ternyata yang terbesar adalah pakan yaitu sebanyak 65 %. “Pakan yang digunakan untuk memelihara ayam di Brazil yang paling dominan adalah jagung,” ujar Peneliti Senior INDEF (Institute for Development of Economics and Finance) Enny Sri Hartati. 
 
 
Menurut Enny, pembudidayaan, peningkatan produktivitas, peningkatan kualitas produk jagung mulai benih sampai panen adalah intervensi dari pemerintah Brazil yang luar biasa. Dukungan akan ketersediaan lahan sampai dengan teknologi termasuk subsidi dilakukan pemerintah Brazil. “Brazil mengidentifikasi betul potensi sumber daya yang mempunyai daya saing yaitu sektor peternakan dan membutuhkan dukungan dari pakan, serta pakan yang paling bagus untuk ayam adalah jagung, inilah yang menyebabkan harga produksi ayam Brazil lebih efisien dari Indonesia,” jelasnya.
 
 
Sementara itu, kondisi tata niaga ayam di dalam negeri, tambah Enny, terkait surplus produksi dengan harga. Berdasarkan data dari Direktorat Jenderal Peternakan dan Kesehatan Hewan Kementerian Pertanian (Ditjen PKH Kementan) sepanjang Januari hingga Desember 2019, yaitu potensi kebutuhan daging ayam ras sebanyak 3.251.745 ton atau rata-rata 270.979 ton per bulan. Di sisi lain, potensi produksi daging ayam sebesar 3.829.663 ton atau rata-rata 319.139 ton per bulan, sehingga terdapat potensi surplus 577.918 ton atau 17,77 %.
 
 
“Data untuk Januari sampai Agustus 2019 sebesar 2.334.042 ton atau 291.755 ton per bulan, surplus sekitar 7,29 %. Kelebihan tersebut cukup sebagai cadangan pangan, khususnya daging unggas secara nasional. Masalah lainnya adalah adanya disparitas harga ayam di level peternak sampai konsumen, dengan rincian harga ayam di tingkat peternak Rp 11.000 – 17.000 per kg, dengan harga pokok produksi (HPP) yang berkisar Rp 17.500 – 18.000 per kg, sedangkan harga di tingkat konsumen sebesar Rp 30.000 – 35.000 per kg,” ungkap Enny.
 
 
Enny menuturkan dari pengamatannya, sikap yang dikeluarkan pemerintah yaitu mengimbau peternak untuk membagikan ayam secara gratis, mengurangi suplai dengan mengurangi pula jumlah produksi bibit ayam (DOC) serta pemangkasan hatching egg (HE) umur 19 hari dan menunda setting. Pemangkasan HE tersebut sesuai dengan Surat Edaran (SE) Ditjen PKH pada 2 September 2019 tentang pengurangan DOC FS (Final Stock), guna mempercepat berkurangnya produksi DOC. Kemudian, pelaku usaha atau bisa disebut integrator diimbau untuk memaksimalkan kapasitas pemotongan ayam di Rumah Potong Hewan Unggas (RPHU) yang selanjutnya disimpan di cold sorage minimal 30 % dari produksi.
 
 
Sekretaris Jenderal GOPAN, Sugeng Wahyudi mengamini pernyataan pernyataan Enny bahwa 60 – 70 % dari biaya produksi ini adalah pakan, utamanya jagung. Jika masalah pakan ini dapat terselesaikan, maka efek domino akan sangat luar biasa sebab bisa menekan HPP.
 
 
“Apabila harga DOC terjangkau, semuanya juga akan terjangkau. Sehingga masalah sebenarnya bukan dari segi budidaya tapi dari segi hulunya. Terkait jagung, pemerintah sudah punya kebijakan tapi yang terjadi kelihatannya status jagung belum sesuai yang diharapkan,” keluhnya.
 
 
Sugeng tak meminta harga jagung harus murah, sebab akan berdampak pada petani jagung. Tetapi ia mengharapkan harga jagung terjangkau dan kompetitif. “Kami optimis bisa mengejar Brazil jika pakan ayam tersedia dengan baik,” tegasnya.
 
 
Direktur Jenderal Peternakan dan Kesehatan Hewan Kementerian Pertanian, I Ketut Diarmita berpendapat, empat modal utama bangsa Indonesia supaya lebih baik lagi yaitu integritas diri, komitmen diri, profesionalitas dan kejujuran. “Ketidakjujuran merupakan penyebab carut-marutnya perunggasan kita. Sampai kapan pun dan sehebat apapun menghitung supply – demand (pasokan – permintaan) selama data lapangan tidak sesuai dengan yang dilaporkan maka akan selalu salah,” katanya.
 
 
Kesiapan Hadapi Ayam Brazil
Jika merujuk pada data yang ada, beberapa produk utama pertanian Brazil berdasarkan jumlah produksi dan peringkat dunia adalah kedelai dengan persentase ekspor dunia sebanyak 48 %, daging ayam sebanyak 35 %, jagung sebanyak 20 %, dan bungkil kedelai sebanyak 24 %. Selain itu, pada akhir 2018 lalu Brazil mampu mengekspor sebanyak 4,1 juta ton karkas ayam ke seluruh dunia. Brazil juga masuk ke dalam 15 negara dengan nilai ekspor dolar terbesar untuk ayam beku yang menduduki peringkat satu dengan nilai 5,9 miliar USD (United States Dollar) atau 36,6 % dari total ekspor daging unggas beku.
 
 
Selain itu, harga ayam Brazil, pada Januari sampai dengan Agustus 2019 secara berturut-turut yaitu 1.563 USD per ton, 1.595 USD per ton, 1.599 USD per ton, 1.602 USD per ton, 1.695 USD per ton, 1.624 USD per ton, 1.686 USD per ton dan 1.690 USD per ton. “Artinya, harga di tingkat importir kurang lebih 1,93 USD per kg atau Rp 27.020 per kg belum termasuk margin. Guna menghadapi gempuran pasar global, target HPP live bird harus sebesar 1 USD atau setara Rp 14.194,80 (1/10),” terang Dewan Pembina GOPAN, Tri Hardiyanto.
 
 
Tantangan perunggasan nasional saat ini ada pada pemerintah, peternak dan industri peternakan itu sendiri. Dibutuhkan dukungan Presiden dan Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) untuk perunggasan sebagai sektor strategis penyediaan pangan hewani. “Perlu juga untuk memastikan harga jagung nasional di level harga yang wajar dan ketersediaan yang berkelanjutan, sehingga petani mendapat untung serta peternak menikmati harga pakan dengan terjangkau,” usulnya.
Selanjutnya, Tri meminta pemerintah memastikan harga DOC dengan harga yang wajar. Kemudian mendorong pelaku usaha untuk melakukan pengembangan menuju hilirisasi berupa RPHU dan cold storage serta pengendalian buffer stocking cold storage nasional atau stock cold storage guna menyeimbangkan harga karkas di tingkat konsumen. Pemerintah juga harus meningkatkan konsumsi produk unggas di masyarakat.
 
 
 
Selengkapnya baca di majalah TROBOS Livestock Edisi 241/Oktober 2019
 

 
Livestock Update + Moment Update + Cetak Update +

Artikel Lain