Virus AI Terus Mengintai

Virus AI Terus Mengintai

Foto: Istimewa


Seperti ranjau di penghujan, virus avian influenza (AI) tidak henti mengintai, siap “meledakkan” peternakan unggas yang lengah, mengabaikan langkah-langkah untuk mencegah

 

Peternakan layer (ayam petelur) berpopulasi 10 ribuan ekor itu terpapar AI pada Desember 2022. Gejalanya, berat badan turun drastis karena tidak ada nafsu makan. Awalnya mirip penyakit snot. Pilek, batuk, bersin, dan keluar lendir. Bedanya, diikuti gejala kematian tinggi. Feses juga berubah warna jadi kehijauan. Jengger pucat lalu lama2 muncul sianosis, warna kebiruan. Demikian pula pada kaki, ada jejak kebiruan seperti kerokan.

 

Hari Wibowo – peternak layer berbendera Hari Farm yang terpapar AI itu menuturkan, produksi telur awalnya 516 kg lalu turun menjadi 497 kg pada pekan kedua serangan. Hen Day Average (HDA) turun drastis dari 82 % menjadi 60 %. Dia sempat melakukan revaksinasi. Pekan kedua muncul kematian, 4, 8, 12, 13 lalu naik jadi 18, bahkan 80 ekor dan seterusnya hingga total 300 ekor selama sebulan. Saat itu produksi telur tinggal 40 %.

 

“Selama serangan, pakan ayam saya turunkan proteinnya, sampai tinggal 14 %. Pengurangan protein ini, untuk menurunkan beban saluran pencernaan. Sebab pada kondisi drop, ayam lebih membutuhkan energi, maka energi ditambah dengan memperbanyak porsi jagung pada formulasi.  Energi sangat perlu untuk bertahan dan membantu membangun kembali kekebalan. Secara herbal, saya tambahkan garlic (bawang putih) sebanyak 200 gram perton pakan,” ungkap dia pada Mimbar TROBOS Livestock #43 “Mengulas Penyakit Avian Influenza ” pada Senin, 27  Februari 2024. 

 

Seminar online besutan TROBOS Communication (TComm) itu juga menghadirkan  Dedy Kusmanagandi – Ketua Asosiasi Dokter Hewan Perunggasan Indonesia (ADHPI) dan Fakhry Husain - Technical Education and Consultation PT Medion Farma Jaya, sebagai pembicara.

 

Hari pun menyarankan, bagi peternak pengguna pakan komplit eks pabrikan, dapat menambahkan jagung giling untuk menaikkan kadar energi dan menurunkan kadar protein. “Kuncinya tidak perlu panik. Intake dibuat hanya 70 - 80 gram perhari, untuk sekedar hidup saja, tidak perlu dipaksa 120-130 gram perhari,” dia menegaskan.

 

Selain itu, perlu memberikan keleluasaan bagi ayam untuk bergerak / free range bagi ayam yang sudah terpapar. Walaupun akhirnya mati juga sebagian, tetapi masih bisa menunda beberapa hari. Menurut dia, pada kebanyakan kasus AI sekarang ini, sebagian besar dari populasi masih bertahan. Bahkan ada serangannya justru dibawah keganasan serangan ND (Newcastle Disease).

 

“Diambil sampel dari ayam yang bertahan, apakah folikel yang mengalami lisis jumlahnya banyak. Folikel yang tersisa diamati, ukurannya kecil-kecil atau masih banyak yang besar-besar. Jika masih banyak yang besar, artinya banyak folikel yang tumbuh lagi atau masih tumbuh. Kemungkinan bisa kembali memproduksi telur,” dia menuturkan.

 

Hari pun menyatakan, memasuki pekan ke-4 kematian mulai turun signifikan. Pada pekan ke-5 produksi telur merangkak naik di level 56%. Hasil pembedahan sampel menunjukkan folikel mulai tumbuh lagi. Minggu ke 6 mulai naik terus. Pasca outbreak, limbah kandang dikeluarkan. Dikumpulkan tapi diberi naungan atap, tidak dijemur langsung. Kemudian dicampur dolomit, kapur, dan probiotik mengandung Bacillus subtilis. “Sebenarnya perlakuan standar limbah kotoran ayam di farm kami. Dengan perlakuan itu, kotoran menjadi pupuk, sehingga laku lebih tinggi daripada jual kotoran biasa,” jelasnya.

 

Problematika Pengendalian AI

Hari Wibowo menyebutkan potensi kematian akibat AI masih saja bertubi-tubi dan mudah sekali menyebar ke flok lain. Di Jogja satu flok isinya 500 – 1000 ekor. “Peternak juga tidak bisa mengidentifikasi secara dini AI, dan membedakannya dengan gejala penyakit lain seperti ND. Sehingga rentan salah penanganan pada waktu awal outbreak,” jelas dia.

 

Terjadi pula dilema, semakin lama serangan berlangsung, kematian juga semakin tinggi sehingga kerugian semakin besar. Kalaupun dijual, ayam sakit AI tidak laku. Selain itu berisiko menularkan ke kandang lain. Namun kalau dibiarkan akan mati dan peternak merugi. “Farm komersil mudah terkena AI karena berdekatan dengan kandang dan pemukiman, bahkan di sela-sela rumah-rumah penduduk. Kebersihan dan penanganan limbahnya pun kurang baik. Lahan kandang yang sempit tidak memungkinkan menerapkan biosekuriti 3 zona. Burung liar juga berkeliaran, sulit diatasi,” Hari menuturkan.

 

Masih ditemukan pula keenganan menerapkan biosekuriti, karena kurang peduli. Mobil keluar masuk biasa saja, tanpa desinfeksi dan pembatasan akses. Alasannya, dianggap aman karena hari itu mobil tidak mampir ke peternakan lain. Demikian pula larangan memasukkan ayam dari lokasi/peternak lain, sering diabaikan. Biasanya kalau peternak ingin memasukkan ayam (replacement), langsung dimasukkan saja ke flok, tidak melalui prosedur karantina.

 

Ditambah lagi, menurut Hari, peternak cenderung mengabaikan program vaksinasi / revaksinasi pada saat landai. Efeknya baru terasa saat kebobolan sudah terjadi. Kalau ayam sudah pernah divaksin, ayam cenderung bisa bertahan dari serangan AI. Hari memberikan vaksinasi AI sejak pullet, mulai umur 28 hari, 56 hari, 12 pekan, puncak produksi (26 pekan), dan kemudian setiap 10-12 minggu. Atau paling tepat adalah dengan cek titer antibodi. Jika di bawah 4, segera di revaksinasi.

 

“Peternak layer sekarang memilih membeli pullet, jarang membesarkan sendiri dari DOC (ayam umur sehari). Seharusnya peternak memastikan pullet yang dibeli sudah divaksin AI oleh produsennya. Peternak layer tinggal melakukan revaksinasi minimal 2 kali setelah masuk periode layer, pasca puncak produksi dan 10-12 pekan setelahnya,” terangnya.

 

Dedy Kusmanagandi menyatakan, penyakit AI sudah ada di Indonesia lebih dari 20 tahun, namun kasus penyakit masih rutin dilaporkan. Karena masih ada masalah pada pengendalian penyakit AI di Indonesia. Diantaranya vaksinasi di tingkat peternak belum efektif serta terkendala masalah teknis. Selain itu perlu pembaruan pembaruan strain vaksin secara periodik berdasarkan surveilans dan data terbaru,” dia mengungkapkan. Maka dia menyarankan, vaksinasi terus dilakukan untuk memperkuat biosekuriti. Ditegaskannya pula, vaksin terbaik adalah homolog, sehingga vaksin harus selalu update dengan virus lapangan. 

 

Virus AI

Fakhri Husain menyatakan virus AI yang menyerang di Indonesia, kebanyakan adalah tipe A, dari famili orthomyxoviridae. Virus ini memiliki materi genetik single RNA, sehingga tidak mempunyai proof reading. Proof  reading berguna untuk menjaga agar hasil replikasi virus sama dengan virus sebelumnya / induknya. Sehingga virus AI, yang tidak memiliki proof reading ini lebih mudah bermutasi. “Strukturnya bagian luarnya beramplop, tersusun atas lapisan lipid. Sehingga sensitif terhadap berbagai jenis disinfektan dari golongan oxidation agent, fenol, kuartener, dan aldehid,” katanya.

 

Dia menerangkan, virus AI memiliki protein permukaan yang menentukan subtipe virus dan faktor infeksi virus, yaitu hemaglutinin (H) dan neuraminidase (N). Hemaglutinin terdiri dari 16 subtipe (H1 – H16), fungsinya untuk melakukan penetrasi ke dalam sel hospes. Hemaglutinin akan membuat virus menempel pada sel hospes, sebelum akhirnya menginfeksi. Protein H ini juga menjadi target netralisasi dari antibodi ayam. Sedangkan neuraminidase terdiri dari 9 subtipe (N1 – N9), berfungsi untuk keluar dari sel setelah memperbanyak diri (replikasi) di dalam sel hospes. Kedua protein H dan N ini dipergunakan untuk menentukan subtipe virus.

 

“Virus AI ini genom-nya bersegmen. Ada 8 segmen gen hemaglutinin atau HA, kita fokus ke gen hemaglutinin.  Bentuknya seperti benang, kusut kalau ditarik menjadi untaian benang panjang dengan urutan asam amino dari 1 sampai sekitar 400 asam amino yang dianalisis. Ada beberapa asam amino penting yang mempengaruhi karakter virus bila bermutasi. Dikenal dengan istilah cleavage site. Gen HA0 atau dalam bentuk primer masih tersambung  cleavage site-nya. Saat virus sudah masuk ke dalam sel hospes, HAakan dipecah menjadi HA1 dan HA2 oleh enzim protease, tepat pada cleavage site.

 

Fakhry menjelaskan, mortalitas dan morbiditas pada outbreaks AI dapat mencapai 100 %. Penurunan produksi telur hingga 40 %, dan angka culling  yang tinggi. Biaya disinfeksi pun membengkak. Secara medis, virus AI dapat merusak semua sistem tubuh, mulai dari sistem pernapasan, reproduksi, pencernaan dan lain-lain.  “Kondisi tubuh ayam menurun, sehingga terserang penyakit lain atau koinfeksi,” dia mengatakan. Jika terjadi koinfeksi kompleks, dia menyarankan agar ayam diberi perlakuan kombinasi obat (dengan pengawasan dokter hewan) dan terapi suportif yang sesuai secara tepat.

 

Terlebih infeksi AI yang bisa jadi tidak terlalu terlihat gejalanya sekalipun, dipastikan bersifat imunosupresif atau menurunkan kekebalan tubuh. Jika saat itu ada mikroorganisme infeksius yang masuk, maka ayam akan mengalami koinfeksi. Jika berbarengan dengan penyakit karena sebab non infeksius seperti racun jamur, stres dll maka serangan AI akan semakin parah.

 

 

Selengkapnya Baca di Majalah TROBOS Livestock edisi 294/ Maret 2024

 
Livestock Update + Moment Update + Cetak Update +

Artikel Lain