Menengok Industri Sapi Perah di China

Menengok Industri Sapi Perah di China

Foto: 


Jakarta (TROBOSLIVESTOCK.COM). China (Tiongkok) merupakan negara dengan populasi masyarakat lebih dari 1,4 miliar jiwa, sehingga menempati posisi kedua negara dengan penduduk terbanyak setelah India. Tak hanya memiliki jumlah penduduk yang banyak, namun China juga memiliki populasi sapi yang cukup banyak yakni rata-rata 89,96 juta ekor. Adapun USDA (United States Department of Agriculture) menunjukkan bahwa produksi susu di China sebanyak 41 juta ton pada 2023, di mana angka ini naik sebanyak 4,6 % dari 2022, serta meningkat 28 % dibandingkan pada 2019.

 

Menengok kesuksesan industri sapi perah di China, Centras (Center of Tropical Animal Studies) menggelar seminar secara daring (dalam jaringan) dengan topik ‘Technology Rearing Calf and Management Dairy Cattle in China’ pada Kamis (25/7). Dalam sambutannya, Ketua Centras, Prof Nahrowi Ramli mengungkapkan bahwa peningkatan populasi sapi perah saat ini bisa dikatakan tidak signifikan atau menurun. “Beberapa hal yang mempengaruhinya ialah sapi perah ini tantangannya sangat banyak, selain karena luasan lahan yang dimiliki untuk menanam hijauan yang amat sangat sedikit, juga ada faktor-faktor lain yang membuat sapi perah ini tidak berkembang secara signifikan,” ujarnya.

 

Nahrowi menyebutkan bahwa faktor tersebut di antaranya adalah mahalnya memelihara pedet untuk menjadi replacement stock bagi para peternak. Itu pun memang road map pengembangan dari peternakan sapi perah memang belum ada sentuhan teknologi yang lebih baik lagi. Terkait dengan hal tersebut, Centras bekerja sama dengan Gapensiska (Gabungan Pelaku dan Pemerhati Sistem Integrasi Sapi-Kelapa Sawit) untuk menyelenggarakan webinar ini.

 

Berikutnya, Sekretaris GKSI (Gabungan Koperasi Susu Indonesia), Unang Sudarma mengatakan bahwa GKSI sangat berterima kasih atas diadakannya webinar ini, sebab akan menambah wawasan. “Sebagaimana diketahui, pilar pembangunan peternakan tetap tidak bisa melepaskan diri dari bagaimana mutu ternak yang harus kita tingkatkan kesejahteraannya. Kedua, ternak itu sendiri harus ditingkatkan produksi dan produktivitasnya. Ketiga, lahan sebagai basis ekologi yang harus kita jamin dan jaga bagaimana keberlanjutannya,” sebut Unang.

 

Memasuki acara utama, dari Famsun China, Ted Wei menjelaskan bahwa rataan rekomendasi dari susu yang dikonsumsi di setiap kontinen ialah 300 gram (g) per hari. Kebutuhan susu di Indonesia 1/5-nya dari dalam negeri, sedangkan sebanyak 80 % dari impor, sehingga ini menjadi tantangan tersendiri untuk industri persusuan di Indonesia. Menurutnya, ada banyak vitamin yang penting bagi manusia yang ditemukan di susu, sehingga susu menjadi pangan yang penting bagi kesehatan manusia.

 

“Ada banyak penelitian yang menunjukkan bahwa kaitan konsumsi protein hewani, khususnya dari dairy food, untuk kesehatan tulang, gigi, otot, penyakit kardio metabolisme, dan imun sistem. Untuk itu, sangat penting untuk mengonsumsi protein hewani, terlebih susu,” papar Wei.

 

Untuk di China sendiri, Wei menjeaslakan bahwasanya semakin besar jumlah populasi sapinya, maka pertumbuhan produktivitasnya pun akan semakin meningkat. Terkait dengan produktivitas ini, juga terkait dengan penurunan dari jejak karbon per kg susu yang dihasilkan. Ini menjadi salah satu concern juga di dunia internasional terkait dengan permasalahan lingkungan.

 

Pada kesempatan yang sama, Ketua Umum Gapensiska, Wahyu Darsono menjelaskan, Siska merupakan model atau istilah lama yang sudah berkembang di Indonesia, bahkan inisiasinya sudah ada sejak sebelum 2000. “Siska diorientasikan bagaimana ternak sapi itu bisa membantu pekerja perkebunan sawit mengevakuasi buah dari area perkebunan ke area pengumpulan buah. Tetapi di dalam perkembangannya Siska itu juga berkembang ke bagaimana simbiosis mutualisme di antara ternak dan sawit tidak hanya sebagai ternak pekerja, tetapi juga bagaimana itu bisa mendukung perkembangan dari produksi perkebunan, efisiensi biaya, input produksi di dalam perkebunan dan bagaimana itu bisa meningkatkan produktivitas,” terang Wahyu.

 

Dengan adanya sapi di dalam perkebunan sawit, lanjutnya, bisa lebih menjaga erosi dan kelambapan panas. Kemudian adanya peningkatan biodiversitas, tidak hanya monokultur pada aspek tanaman tetapi juga diversitas pada aspek yang lain, seperti burung jalak itu ada dan semakin berkembang.bella

 
Livestock Update + Moment Update + Cetak Update +

Artikel Lain