Inisiasi Kerja Sama Perdagangan SBW Indonesia-Tiongkok

Inisiasi Kerja Sama Perdagangan SBW Indonesia-Tiongkok

Foto: 


Nutricell turut berpartisipasi dalam ekspor perdagangan SBW ke depannya, serta akan mengimplementasi pemasangan taging atau RFID di setiap SBW yang akan di ekspor, sebagai paspor identitas untuk mempermudah trace ability sumber asal SBW
 
PT Nutricell Emmersa Bioscience (Nutricell) menginisiasi kerja sama perdagangan antara Indoensia dengan Tiongkok, untuk subsektor peternakan di Indonesia. Nutricell didukung Kementerian Pertanian (Kementan), dalam hal ini Direktorat Jenderal Peternakan dan Kesehatan Hewan (Ditjen PKH) guna menggelar acara Penandatanganan Nota Kesepahaman (MoU) Kerja Sama Perdagangan dan Investasi antara Perusahan-Perusahaan Indonesia dengan Tiongkok pada Sabtu (25/3) lalu di Hotel Ritz Carlton Jakarta. 
 
Direktur Jenderal Peternakan dan Kesehatan Hewan Kementerian Pertanian (Dirjen PKH), Nasrullah menyampaikan, melalui investasi dan kerjasama perdagangan ini diharapkan dapat mengakselerasi produksi, produktivitas, hilirisasi dan ekspor produk olahan sarang burung wallet serta produk unggas. “Terpenting adalah adanya penerapan teknologi dan inovasi untuk keberlanjutan peternakan Sarang Burung Walet (SBW) di Indonesia,serta peluang pasar untuk produk unggas Indonesia ke Tiongkok,” ungkap Nasrullah.
 
Turut angkat bicara pada kegiatan tersebut, Direktur Nutricell, Suaedi Sunanto mengatakan bahwa penandatanganan kerjasama ini berawal dari pertemuan 
G20 di Bali pada 2022 lalu. Lalu, terdapat peluang untuk membangun kerja sama ekspor SBW ke Cina, yang merupakan konsumen terbesar SBW di dunia.
“Dari 2.800 ton total produksi SBW di dunia, 2.000 ton diserap oleh Cina dan selama ini Tiongkok sebagian besar membeli SBW dari Hongkong, yang notabene bukanlah negara pengahsil SBW. Indonesia yang memiliki potensi sumber daya besar untuk memproduksi SBW, masih  terkendala untuk memasuki pasar China,” cetus dia.
 
Suaedi melihat adanya peluang, bahwa Indonesia bisa menjadi pengekspor SBW terbesar di dunia. Bahkan bisa memenuhi sebagian besar kebutuhan SBW Tiongkok, ditambah harga komoditi ini sangat mahal, yakni mencapai 1.000 dolar AS (Amerika Serikat) per kilogram (kg) dari Indonesia. Sementara itu, di Cina bisa dijual 2.000 – 3.000 dolar AS USD per kg. 
 
Menurutnya, salah satu yang menjadi kendala yakni secara fianncing, petani SBW Indonesia lebih memilih pembeli yang membayar secara langsung, ketimbang harus dijual kepada perusahaan yang biasanya tenggang pembayarannya butuh waktu lebih lama. “Hal ini mendorong Nutricell untuk menjembatani kerja sama dengan HSBC, guna membantu pendanaan investasi perusahaan-perusahaan Cina, supaya bisa mengcover pembelian SBW ke petani  dengan pembayaran di awal,” bubuhnya. 
 
Dalam MoU kerjasama perdagangan dan investasi yang akan dilakukan untuk komoditas SBW, pengolahan produk unggas, serta pengembangan pertanian 
berkelanjutan, telah disipakan dana investasi dari Tiongkok kurang lebih senilai 200 juta dolar AS atau setara dengan Rp 3 triliun. 
 
Pada kesempatan tersebut, perwakilan pelaku usaha dari Provinsi Sichuan, Chen Ya menerangkan bahwa Indonesia sebagai pemasok SBW terbesar ke Tiongkok, sedangkan Tiongkok merupakan pangsa pasar terbesar di dunia sebagai konsumen SBW. “Kami menyampaikan terima kasih kepada Pemerintah 
Indonesia, dan berharap kerja sama yang terjalin tidak hanya untuk komoditi SBW, namun juga dapat berkembang luas di bidang unggas, yakni ayam dan telur, 
seperti yang telah disampaikan Dirjen,” ungkap Chen.
 
Ikut menambahkan, Direktur Hughes China Holding Company, Hady Hartanto, yang membawahi perusahaan perusahaan Tiongkok yang bekerjasama di Indonesia menagtakan, kerja sama ini nantinya tidak hanya untuk komoditas SBW saja, namun dari bidang perunggasan juga diharapkan kerja sama pembangunan RPA (rumah potong ayam) di IKN Ibu kota baru, ataupun ekspor produk perunggasan Indonesia ke Tiongkok, seperti ayam kuning, telur, atau produk olahan. 
 
“Kami secepatnya akan mengimplementasikan kerja sama perdagangan dan investasi setelah pendatanganan MoU ini. Dalam 3 bulan ke depan, harapannya sudah bisa mulai terimplementa perdagangan ekspor produk SBW dan menyusul komoditas perunggasan lainnya,” terang Hadi. 
 
Ekspor SBW
Nasrullah menerangkan, sebagian hasil produksi SBW di Indonesia telah memenuhi persyaratan protokol ekspor Otoritas Tiongkok (The General Administration of Customs of the People’s Republic of China/GACC). Namun demikian, proses untuk dapat menembus pasar Tiongkok membutuhkan waktu yang tidak sebentar, sehingga saat ini baru tercatat ada 33 pelaku usaha SBW yang dapat melakukan ekspor langsung ke Tiongkok.Lebih lanjut Nasrullah menekankan, 
perlunya kesungguhan dan kepatuhan yang tinggi dari para pelaku usaha SBW guna dapat memenuhi protokol ekspor  Tiongkok, karena harus memenuhi standar dan kriteria agar produknya dapat masuk ke negaranya. “Oleh karena itu, saya berharap dengan adanya MoU ini, perusahaan-perusahaan SBW yang ada di Tiongkok dan Indonesia dapat melakukan pendekatan secara intensif dengan GACC, sehingga nantinya proses ekspor SBW Indonesia menjadi lebih mudah dan cepat,” imbau Nasrullah.
 
Usai penandatangan MoU ini, ia melanjutkan, diharapkan dapat langsung diimplementasikan hal-hal apa saja yang menjadi poin penting dari isi kerjasama ini. Ia meminta untuk segera direalisasikan kerja sama Business to Business(BtoB) ini, dan Pemerintah Indonesia siap mendukung sepenuhnya. Dengan begitu, dalam waktu dekat akan semakin banyak pelaku usaha SBW yang dapat menembus pasar Tiongkok dan pasar lain. Hal ini perlu dipacu agar terus bisa berkontribusi pada peningkatan ekspor di sektor pertanian Indonesia.
 
Lebih lanjut, Suaedi menerangkan bahwa Nutricell turut berpartisipasi dalam ekspor perdagangan SBW ke depannya, serta akan mengimplementasi  pemasangan taging atau RFID (tanda yang bisa dibaca mesin elektronik) di setiap SBW yang akan di ekspor. “Ini sebagai paspor identitas untuk mempermudah trace ability sumber asal SBW,” tambah Suaedi.
 
Berdasarkan data BPS Indonesia, tercatat total nilai perdagangan kedua negara pada subsektor peternakan pada 2022 ialah senilai 752 juta dolar AS, dengan volume sebanyak 141 ribu ton untuk berbagai jenis komoditas, seperti SBW, kulit, pakan ternak, premix dan lisin. Investasi Subsektor Peternakan Negara 
Tiongkok di Indonesia pada 2022, termasuk dalam 10 besar negara dengan investasi tertinggi, dan utamanya untuk SBW.TROBOS/Adv

 
Livestock Update + Moment Update + Cetak Update +

Artikel Lain