Bintang Mas Kamdoro, DVM Mengenal Diare Neonatal pada Anak Babi

Bintang Mas Kamdoro, DVM Mengenal Diare Neonatal pada Anak Babi

Foto: 


Diare neonatal pada anak babi adalah salah satu masalah utama yang dihadapi peternak dan dokter hewan di lapangan, yang berpotensi menimbulkan kerugian dalam usaha peternakan babi. Diare neonatal ini bisa terjadi karena faktor imunitas, lingkungan, pekerja dan patogen penyebab penyakit. 

 

Misalnya, seorang pekerja gagal memastikan anak babi yang lahir kecil mendapatkan kolostrum dari induk, maka anak babi ini akan rentan terhadap sejumlah patogen. Jika kondisi lingkungan kandang juga kotor, maka anak babi tersebut tidak akan kuat menghadapi tantangan yang ada karena kekebalan pasif dari induk gagal terbentuk. Di sini biasanya antibiotik kemudian diberikan dan kemudian berpotensi merusak mikrobia usus, sehingga membuat anak babi semakin rentan terhadap diare dan juga munculnya kasus-kasus lainnya. Penanganan awal yang buruk dalam manajemen kolostrum biasanya menjadi penyebab munculnya diare atau penyakit lainnya. 

 

Imunitas akan mempengaruhi kejadian diare neonatal. Jika anak babi tidak mendapat cukup kolostrum dalam 48 jam pertama kehidupan, mereka akan menjadi mangsa mudah bagi mikroorganisme apapun yang ada di lingkungannya, baik itu bakteri, virus maupun patogen lainnya. Dalam kaitannya dengan kasus bakterial, pengobatan dengan antibiotik mungkin ada yang bisa bertahan, tetapi anak babi ini cinderung akan mengalami pertumbuhan yang lambat dan berpotensi merugikan di masa depan, karena bisa menjadi sumber penularan penyakit. Selain faktor pekerja, faktor induk agalactia merupakan masalah yang serius, karena induk tidak mampu memproduksi kolostrum, air susu dan zat besi yang cukup untuk anak-anaknya. 

 

Adapun lingkungan yang buruk berkontribusi terhadap terjadinya diare neonatal. Misalkan, anak babi lahir dari induk yang berkinerja baik, sehat, dan minum cukup kolostrum, namun karena lingkungan kandangnya kotor, lembap, dingin dan asupan nutrisinya kurang, maka anak babi ini juga berpotensi mengalami kematian. Faktor lingkungan yang buruk menyebabkan stres pada induk babi, sehingga mengakibatkan berkurangnya produksi air susu, berkurangnya nafsu makan, dan meningkatkan risiko gangguan reproduksi di proses kebuntingan selanjutnya. Jika induk babi sakit, maka anak babi akan juga terdampak dan bisa berakhir dengan kematian.

 

Lalu, apa saja patogen yang umumnya berperan dalam kejadian diare neonatal? Ada bakteri (Clostridium sp, Eschericia coli, Salmonella sp.), virus (rotavirus, TGE, dan PED) serta protozoa (Koksidia – Cystoisospora suis). Kondisi PRRS (Porcine Reproductive and Respiratory Syndrome) yang tidak stabil di kandang, bisa juga dihubungkan dengan kejadian agalactia pada induk babi.

 

Diare karena virus ditandai dengan konsistensi encer selama beberapa hari, sehingga dehidrasi terjadi dengan cepat. Koinfeksi dengan bakteri E. coli juga sering terjadi dan dapat meningkatkan angka kematian akibat tantangan yang hebat. Tidak ada pengobatan untuk infeksi virus, sehingga dokter hewan hanya bisa menangani kasus dehidrasi dan koinfeksi yang muncul saja. 

 

Diare karena koksidia mungkin merupakan parasit pada babi yang paling signifikan secara ekonomi. Parasit ini menyerang lapisan usus dan berkembang biak dengan sangat cepat, sehingga merusak kapasitas penyerapan usus. Penyakit ini biasanya tidak mematikan, namun membawa konsekuensi besar terhadap kinerja seluruh proses produksi karena absorbsi nutrisi terganggu. Apalagi jika terjadi infeksi subklinis, karena anak babi akan terus mengeluarkan ookista dan mencemari lingkungan.

 

Clostridiosis biasanya terjadi ketika ada ketidakseimbangan di dalam usus. Salah satu penyebabnya yakni penggunakan antibiotik yang tidak benar atau kasus koksidia yang merusak lapisan usus, sehingga menciptakan lingkungan yang sempurna bagi Clostridium sp untuk berkembang tidak terkendali. Clostridium perfringens type C (CpC) adalah yang paling agresif dan menyebabkan diare berdarah. Anak babi yang awalnya sehat dan gemuk, bisa mati begitu cepat. Sedangkan CpA menyebabkan diare pucat, namun relatif tidak mematikan.  

 

Salmonellosis adalah penyakit bakteri paling sering dikaitkan dengan anak babi menjelang periode penyapihan/pertumbuhan. Salmonella cholerasuis lebih mematikan, sementara S. typhimurium lebih sering terjadi pada anak babi, meskipun angka kematiannya rendah. Salmonellosis tidak boleh dianggap remeh, lantaran anak babi dapat mengeluarkan bakteri melalui kotorannya (shedding) beberapa bulan setelah sembuh dan menjadi sumber penularan di suatu area peternakan. Selain itu, salmonellosis bersifat zoonosis, sehingga perlu kehati-hatian karena penyakit ini juga dapat menyerang manusia.

 

Guna mengetahui apa penyebab utama diare neonatal di suatu peternakan, peternak/dokter hewan dapat mengidentifikasi gejala klinis dari waktu kejadian di kandang dan bisa dikonfirmasi lebih lanjut dengan uji laboratorium jika curiga ada patogen yang menjadi penyebabnya. Berikut gambaran umur anak babi dan patogen yang mempengaruhinya:

 

 

 

 

Saat mengevaluasi kasus di lapangan pada awal kehidupan, hal pertama yang harus dipastikan adalah apakah anak babi mendapat cukup kolostrum? Jika tidak, maka kemungkinan besar itulah penyebabnya! Jika ternyata suatu saat ada induk melahirkan anak dengan jumlah yang tidak seimbang dengan puting susu aktifnya, maka anak babi yang kecil cenderung akan kalah bersaing dan tidak mendapatkan asupan kolostrum yang cukup. Jika hal ini terjadi, sebaiknya pekerja membantu membagi waktu menjadi 2 kelompok untuk menyusui ke induknya secara bergantian, sehingga kolostrum tercukupi untuk semua. Namun jika ternyata kolostrum dipastikan cukup, maka program vaksinasi di breeding harus dianalisa lebih lanjut. Bersama dengan kriteria diagnostik lainnya, dokter hewan dapat memperoleh petunjuk berharga dengan melihat vaksin apa yang diperoleh induk babi, sehingga bisa melakukan evaluasi lebih lanjut. 

 

Di bawah ini adalah program yang bisa menjadi referensi terkait pengendalian diare neonatal pada anak babi. Di Indonesia, vaksinasi terhadap patogen penyebab diare neonatal sepertinya belum tersedia di pasaran. Oleh karena itu, ada kecenderungan penggunaan antibiotik lebih diutamakan, walaupun ada risiko merusak ekosistem usus anak babi.

 

Terlepas belum adanya vaksin komersial yang mendukung di Indonesia, peternak masih bisa melakukan program pengendalian koksidia. Hal ini menjadi sangat penting, mengingat parasit ini hampir pasti selalu ada di peternakan dan relatif sulit untuk dimusnahkan.  

 

“Apakah peternakan kita sudah melakukan program pengendalian terhadap koksidiosis?” Jika tidak, maka kemungkinan besar hal tersebut adalah penyebab diare neonatal. Terkait koksidiostat, saat ini sediaan injeksi lebih disukai dibandingkan oral, sebab kepastian dosis yang cukup untuk setiap anak babi sehingga memastikan tingkat keampuhan dan juga relatif lebih mudah dalam aplikasinya. Selain itu, penting untuk meninjau ulang program pengendalian koksidia di lapangan.  Evaluasi pelaksanaan protokol biosekuriti harus dilakukan untuk memastikan apakah sudah dijalankan dengan benar atau tidak, pasalnya beberapa patogen, termasuk koksidia sangat tahan terhadap lingkungan dan vektor penyakit (hama – tikus, burung, serangga) dapat berperan dalam proses penularannya.

 

Oleh sebab itu, diare neonatal pada anak babi adalah tantangan besar bagi peternak babi karena berpotensi menimbulkan kerugian.  Evaluasi yang detail terkait faktor imunitas, lingkungan, pekerja dan patogen penyebab penyakit harus dilakukan lebih mendalam, agar performa peternakan bisa lebih dioptimalkan. Manajemen pemeliharaan dan biosekuriti juga menjadi hal yang tidak bisa dilupakan, mengingat vaksin untuk membantu mengendalikan diare neonatal ini belum tersedia di Indonesia.

 

Untuk pengendalian koksidia pada anak babi, PT Ceva Animal Health Indonesia (Ceva) melalui divisi hewan besar saat ini sudah menyediakan produk yang inovatif yaitu FORCERIS. Kandungan toltrazuril membantu pengendalian koksidiosis, dan gleptoferron akan membantu mengurangi risiko anemia pada anak babi.  Kombinasi Toltrazuril dan gleptoferron ini menjadi terobosan penting di industri peternakan babi, sebab peternak sudah mengurangi stress handling anak babi. Dengan satu kali suntik FORCERIS, mampu memberikan perlindungan terhadap dua masalah sekaligus, yaitu diare karena koksidia dan anemia. Selain FORCERIS, kami juga menyediakan vaksin COGLAPEST (Hog Cholera), Circovac (PCV2) dan Hyogen (Mycoplasma hyopneumoniae) dan hormon ALTRESYN (Altrenogest) untuk batch manajemen yang menunjang sistem all in all out, serta VETRIMOXIN LA (amoxicilline 15%) dan MARBOX (marbofloxacin 10%). Silakan menghubungi tim kami di lapangan untuk informasi lebih lanjut.TROBOS/Adv

 

Swine and Ruminant Business Manager

PT Ceva Animal Health Indonesia

 

 

 

Referensi : Piglet diarrhoea and anaemia: diagnosis in the farrowing unit (ceva.com)

NB.

IKLAN : POSTER FORCERIS 

 

 

 

 
Livestock Update + Moment Update + Cetak Update +

Artikel Lain