Teknologi Biologi Molekuler Pengendalian AI

Teknologi Biologi Molekuler Pengendalian AI

Foto: Dok. Pribadi


ITVBM-AI digunakan untuk memprediksi perubahan keganasan virus yang dimanfaatkan sebagai dasar dalam pengembangan vaksin
 
Avian influenza (AI) atau flu burung merupakan penyakit viral akut yang menyerang hewan unggas. Penyakit ini bersifat zoonosis, dengan angka kematian yang tinggi yakni hingga 100 %. AI sendiri telah mewabah di Indonesia sejak pertengahan 2003 silam, dan menjadi momok bagi ternak broiler (ayam pedaging) maupun layer (ayam petelur).
 
Peneliti Ahli Utama Badan Penelitian dan Pengembangan Pertanian Kementerian Pertanian (Balitbangtan Kementan), Prof Ni Luh Putu Indi Dharmayanti mengungkapkan bahwa penyakit AI menyebabkan epizootik berulang, epidemik tahunan dan pandemi periodik. “Penyakit HPAI (highly pathogenic avian influenza) subtipe H5N1 ini menyebabkan kerugian ekonomi yang signifikan, baik pada peternakan rakyat maupun komersil. Kasus kematian manusia di Indonesia akibat dampak virus H5N1, merupakan yang tertinggi di dunia. Infeksi virus AI dari hewan ke manusia pada umumnya disebabkan oleh varus-virus AI baru yang memiliki karakteristik baru, seperti daya adaptasi yang lebih baik pada inang baru termasuk manusia,” papar wanita yang karib disapa Indi ini.
 
Dalam orasi ilmiah pengukuhan profesor riset bidang kedokteran hewan tersebut, ia mengatakan bahwa mutasi dan dinamika virus AI di Indonesia yang melatarbelakangi dikembangkannya inovasi pengendalian penyakit AI. Ini tentunya disesuaikan dengan virus yang bersirkulasi, untuk sedini mungkin dapat mencegah potensi masuknya AI pada populasi unggas domestik, unggas liar, dan manusia. Inovasi yang dikembangkan meliputi diagnosa penyakit, pengembangan vaksin dan obat yang disesuaikan dengan dinamika virus AI, guna pengendalian penyakit pada hewan dan meminimalkan mutasi virus dari hewan ke manusia.
 
Periode Perkembangan Teknologi
Perkembangan teknologi biologi molekuler dalam dinamika virus AI terbagi menjadi tiga periode, pertama periode sebelum 2003 yaitu pandemi influenza yang terjadi pada 1918, 1957, dan 1968 yang menyebabkan kematian jutaan manusia di seluruh dunia. Pada 1996, virus HPAI H5N1 diindentifikasi pada angsa di Cina, bersifat zoonosis yang menyebabkan wabah HPAI H5N1 pada unggas serta infeksi pada manusia yang bersifat fatal dan meluas ke negara-negara di dunia.
 
“Pada periode ini (sebelum 2003), virus ini diidentifikasi dengan berbagai teknik pengujian, baik secara konvensional maupun beberapa teknik baru yang berbasis molekuler. Kedua, periode 2003-2010, di Indonesia penyakit HPAI subtipe H5N1 diidentifikasi pertama kali pada awal September 2003, dengan metode RT-PCR (reverse trancriptase-polymerase chain reaction). Pada periode ini, RT-PCR, sekuensing DNA dan metode molekuler lainnya dilakukan guna mengonfirmasi kasus AI pada hewan dan manusia, termasuk pada saat terjadi pandemi H1N1 di 2009, di mana kontaminasi virus AI di pasar unggas hidup dan mutasi AI di Indonesia termasuk virus reassortant,” sebut Indi.
 
Menurutnya, teknologi biologi molekuler berkembang pesat terutama dalam hal modifikasi metode uji, seperti RT-PCR, real-time PCR dan sekuensing dengan metode sanger. Ketiga, periode 2011-2021 yang ditandai dengan makin pesatnya teknologi biologi molekuler, seperti DNA next generation sequencing. Ia mengaku, perubahan karakter ini diikuti dengan pengembangan inovasi vaksin AI. Sebab vaksin terbukti dapat menginduksi respon antibodi, mengurangi mortalitas dan shedding virus.
 
Invensi Berbasis Biologi Molekuler
Indi mengungkapkan, inovasi teknologi veteriner berbasis biologi molekuler (ITVBM-AI) terdiri dari 5 komponen invensi. Pertama invensi identifikasi virus AI, di mana teknologi RT-PCR  dikembangkan menjadi komponen ITVBM-AI yang digunakan untuk mendeteksi, mengidentifikasi dan  mengkarakterisasi virus H5N1 di Indonesia. Kedua, penemuan virus reassortant di Indonesia dengan ITVBM-AI, reassortment terjadi ketika struktur dari genom virus saling tertukar di antara 8 segmen RNA, karena sistem tidak dapat membedakan segmen RNA virus pada saat terjadi koinfeksi virus pada sel yang sama.
 
“Teknologi ITVBM-AI digunakan untuk mendeteksi adanya virus reassortant H5N1 dengan H3N2, virus reassortant antara HPAI dan LPAI, virus reassortant H5N1 clade 2.1.3 dengan clade 2.3.2 serta virus reassortant H9N2 dan H5N1. Ketiga, invensi pengembangan vaksin AI, vaksinasi merupakan salah satu program pengendalian di daerah endemi di negara-negara terinfeksi yang dikombinasikan dengan metode pengendalian lainnya. Adapun kejadian antigenic drift pada 2006, mengakibatkan vaksin yang telah beredar pada saat itu tidak mampu lagi memberikan proteksi yang baik,” imbuh Indi.
 
Selengkapnya Baca di Majalah TROBOS Livestock edisi 288/ September 2023
 

 
Livestock Update + Moment Update + Cetak Update +

Artikel Lain