CHICK DAY 2023: KONTROL DAN PENGENDALIAN PENYAKIT DARI HATCHERY HINGGA RPHU

CHICK DAY 2023: KONTROL DAN PENGENDALIAN PENYAKIT DARI HATCHERY HINGGA RPHU

Foto: Dok. CHICK DAY 2023


CHICK DAY 2023 yang menjadi acara rutin tahunan PT Ceva Animal Health Indonesia (Ceva), kembali digelar pada Rabu (9/8) di Hotel Trembesi. Acara yang mengusung tema ‘The Future: Optimizing Performance Minimizing Condemnation Through Disease Control’ ini dihadiri oleh lebih dari 150 peternak dan pelaku perunggasan dari berbagai daerah di Indonesia.
 
Country Director PT Ceva Animal Health Indonesia, Edy Purwoko menyampaikan bahwa tantangan di bidang perunggasan saat ini kian meningkat, membuat para pelaku di sektor ini harus terus beradaptasi. Menurutnya, dibutuhkan kesadaran bahwa untuk performa tidak hanya sedekedar berhenti kontrol manajemen di farm saja, namun sudah mulai komperhensif mengecek karkas di RPHU. Sehingga kita bisa memberikan kualitas berkualitas tinggi untuk para konsumen.
 
Edy pun menyampaikan rasa terima kasihnya kepada peternak unggas di Tanah Air, karena telah mempercayakan vaksin hatchery-nya kepada Ceva. Sebagai pemimpin vaksin unggas terutama di hatchery, Ceva berkomitmen untuk selalu memberikan solusi terbaik berupa produk-produk inovatif, peralatan yang menunjang, dan servis yang maksimal.
 
Sukses story kontrol penyakit ND, IB dan IBD
Sementara itu, Veterninary Service Manager PT Ceva Animal Health Indonesia, drh. Fauzi Iskandar menjelaskan tentang bagaimana Indonesia sangat rentan terhadap ancaman penyakit, mengingat di Indonesia banyak sekali terdapat farm dalam satu area yang berdekatan.
 
“Di Indonesia dalam satu area bisa memelihara ratusan dan bahkan hingga satu juta ekor dalam waktu yang bersamaan. Di satu area tertentu dalam satu waktu, terdapat banyak farm yang berbeda juga dengan program biosekuriti dan vaksinasi yang berbeda. Hal ini menjadi faktor yang menyebabkan ancaman terhadap kasus ND yang sangat tinggi, mengingat ND dapat menginfeksi lewat aerosol dari peralatan yang tidak didisinfeksi dengan baik,” jelas Fauzi. Ia menerangkan guna mengatasi tantangan penyakit tersebut, sejak 2020 lalu Ceva sudah menemukan teknologi vaksin Vectormune® ND yang memiliki kemampuan lebih cepat untuk mengatasi penyakit ND dibandingkan dengan vaksin ND kill yang sudah ada. Vectormune® ND menjadi solusi terbaik untuk memberikan perlindungan maksimal dari penyakit ND.
 
Lebih jauh ia menjelaskan, bahwa Vectormune® mamapu memberikan perlindungan maksimal karena dapat menggertak kekebalan humoral, mukosal, dan kekebalan berperantara sel (tidak bisa digertak oleh vaksin kill). “Kemudian vaksin ini dapat diaplikasikan secara subkutan atau in ovo. Berbeda dengan vaksin ND kill dan live, yang tidak bisa diaplikasikanin secara in ovo,” sebut dia.
 
Selain itu, perlindungan terhadap shedding virus lebih kuat dibandingkan vaksin kill, mampu memberikan perlindungan yang kuat terhadap semua genotipe virus ND, dan memberikan perlindungan sepanjang masa. Disamping ND, Ceva juga mempersembahkan solusi-solusi untuk penyakit Infectious Bronchitis (IB) yaitu Cevac IBird®. Diperlukan vaksin yang mampu memberikan broad spectrum untuk mengatasi tantangan IB di Indonesia yang memiliki beberapa serotipe. Penggunaan Cevac IBird® di hatchery mampu memberikan proteksi terhadap berbagai serotipe dan mampu mengurangi jumlah virus yang ada di lapangan, menurunkan tingkat kematian dan meningkatkan FCR.
 
Saat ini di Indonesia juga masih menghadapi tantangan penyakit Infectious Bursal Disease (IBD) atau gumboro. Sebagai leader di vaksinasi hatchery dengan produk unggulan Transmune®, Ceva mampu memberikan bukti nyata perlindungan IBD di Indonesia. “Tidak semua vaksin imun kompleks itu sama. Masing-masing memberikan waktu proteksi yang berbeda-beda dan Transmune® memiliki proteksi cukup cepat. Transmune® terbukti menghentikan siklus gumboro dan menjadi vaksin IBD nomor satu di Indonesia untuk pengendalian gumboro,” ujar Veterinary Service Manager Ceva Animal Health Indonesia, drh. Fauzi Iskandar.
 
Ceva SRC Program
Menurut Direktur Sekolah Bisnis dan Manajemen IPB University, Prof Arief Daryanto bahwa sektor perunggasan masih menjadi penyumbang 70 % protein yang dikonsumsi masyarakat. Daging ayam masih menjadi king’s of meet, yakni daging yang paling murah dibandingkan daging lainnya sebagai sumber protein. Ia pun menyinggung soal bagaimana perunggasan bisa berproduksi lebih banyak, dengan input yang efisien, serta bersahabat dengan lingkungan. “Industri perunggasan masih menjadi industri yang sangat menarik dan atraktif, karena potensi konsumsi protein yang terus meningkat dengan jumlah transaksi yang besar. Oleh sebab itu, hilirisasi menjadi salah satu point penting yang menjadi perhatian pola pembelian masyarakat, yang dulunya membeli ayam hidup (live bird/LB) saat ini sudah bergeser ke pembelian dalam bentuk karkas. Dalam hal ini, Rumah Potong Hewan Unggas (RPHU) memegang peranan penting dalam supply chain,” terang Arief.
 
Perkembangan kebutuhan ini ditangkap oleh Ceva dengan menerapkan Ceva SRC (Slaughterhouse Respiratory Check), yakni program yang dibuat sejak 2017
lalu. Ceva Global Veterinary Services Manager, Guillermo González García menerangkan bahwa program ini merupakan cara baru pengecekan penyakit pernapasan pada ayam melalui pengecekan kualitas karkas di RPHU terlebih bagi farm yang tidak terlihat bukti jelas penyakit pernafasan.
 
“Melalui program ini, ratusan broiler dapat diamati dalam waktu singkat untuk mengetahui apakah terserang penyakit pernapasan atau tidak, dan pengambilan sampel dalam jumlah massal juga dapat dilakukan dari berbagai farm hanya dengan pengecekan di RPHU, sehingga akan lebih cepat dan efisien. Program Ceva SRC ini bisa dilakukan untuk pengecekan penyakit pernapasan pada ayam, seperti IB (infectious bronchitis), AI (avian influenza), ND, dan IBD (infectious bursal disease),” papar Guillermo.
 
Lebih lanjut, ia menerangkan konsep dari program Ceva SRC ini yang diharapkan mampu mengurangi tingkat kematian ayam saat ditransportasikan dengan kondisi karkas yang lebih baik. Pun mampu memisahkan karkas ayam yang tidak sehat untuk tidak dikonsumsi oleh konsumen, serta mampu mengurangi kontaminasi dari karkas, baik dari kontaminasi pakan maupun feses. Dari penelitian yang telah dilakukan, Guillermo membagikan kesimpulan bahwa melalui program SRC ini, dapat memberikan dampak dari segi ekonomi yakni penghematan biaya produksi.
 
“Seperti yang terjadi di Brazil, bahwa kasus IB varian dapat merugikan sekitar 211 euro per 1.000 ekor ayam atau sekitar Rp 3,6 juta per 1.000 ekor ayam per bulan. Dengan penerapan SRC program ini, maka akan mampu mengurangi potensi kerugian 4 % dari pembuangan jeroan ayam atau sekiar Rp 9.500 per ekor ayam,” tutup Guillermo.TROBOS/Adv
 

 
Livestock Update + Moment Update + Cetak Update +

Artikel Lain